Blogger Layouts

Monday, February 14, 2011

reinforcement dan punishment

Menurut saya, reinforcement dan punishment sama-sama dapat dipergunakan untuk pembentukan perilaku seseorang. Keduanya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Akan tetapi apabila kita melihat pada masyarakat dimana kita tinggal sekarang ini, Indonesia. Menurut saya, reinforcement lah yang akan sangat efektif dalam pembentukan perilaku seseorang. Untuk lebih spesifiknya, saya memilih positive reinforcement.

Positive reinforcement memiliki pengertian seperti berikut, apabila suatu konsekuensi yang menyenangkan diberikan setelah suatu respons, maka konsekuensi tersebut akan membuat suatu respons menjadi lebih sering muncul. Kita dapat melihat contohnya pada korupsi yang banyak terjadi di Indonesia. Pada kasus korupsi, para pihak yang terlibat akan mendapatkan suatu imbalan (konsekuensi menyenangkan) setelah melakukan suatu respon tertentu. Penjelasannya dapat dilihat seperti ini,

Rounded Rectangle: Mendapat uang sebagai tutup mulut Rounded Rectangle: Perilaku korupsi meningkat
Rounded Rectangle: Perilaku korupsi


Behaviour Positive reinforcement Result

Dari skema di atas ini, dapat kita lihat bahwa perilaku korupsi menghasilkan uang yang merupakan suatu konsekuensi menyenangkan bagi sang pelakunya. Hal itu mengakibatkan perilaku korupsi menjadi meningkat. Melalui penjelasan ini saya bisa bilang kalau perilaku seseorang terbentuk karena diberikan positive reinforcement. Bisa saja sebelumnya perilaku korupsi itu tidak suka korupsi, namun karena diberikan positive reinforcement berupa uang atau semacamnya sebagai imbalan dari tindakan korupsinya, lama kelamaan terbentuklah perilaku suka korupsi tersebut.

Dari penjelasan di paragraf sebelumnya, sebenarnya saya bukan ingin menjelaskan bahwa positive reinforcement itu bisa membentuk suatu perilaku yang buruk. Tujuan saya memberikan contoh mengenai masalah korupsi, agar siapapun yang membaca karangan saya lebih mengerti mengenai maksud dari positive reinforcement dengan contoh kasus yang sudah tidak asing. Dari masalah korupsi itu juga sebenarnya saya ingin memberikan suatu gambaran untuk hal sebaliknya. Saya berpendapat bahwa apabila sikap yang buruk sekalipun di kalangan masyarakat dapat terbentuk, maka bukan hal yang tidak mungkin apabila suatu sikap yang baik di masyarakat juga dapat terbentuk dengan positive reinforcement.

Rounded Rectangle: Perilaku ke Gereja MeningkatContoh lainnya untuk positive reinforcement dapat dilihat dari pengalaman pribadi saya sendiri. Sewaktu saya kecil, saya suka dikasih hadiah setiap kali saya mau ke gereja. Hadiahnya itu suka beraneka ragam, bisa kotak pensil, dompet, buku, jalan-jalan dan banyak lainnya. Hal ini digunakan oleh mama saya karena saya sangat malas ke gereja. Tapi lama kelamaan saya jadi merasa kalau ke gereja itu adalah keharusan. Mulai dari smp, saya sudah mulai ke gereja sendiri tanpa di suruh. Setelah saya kuliah, saya baru sadar bahwa hadiah yang diberikan mama saya bisa dikatakan sebagai positive reinforcement.

Rounded Rectangle: Mendapat hadiahRounded Rectangle: Ke Gereja

Behaviour Positive reinforcement Result

Dalam contoh yang kedua ini, perilaku yang terbentuk tidak buruk seperti contoh pertama, dan pada contoh yang kedua ini, sudah terbukti berhasil membentuk perilaku saya menjadi rajin ke gereja tanpa harus diberikan hadiah lagi. Coba bayangkan apabila saya tidak pernah diberikan hadiah apabila saya ke Gereja, mungkin saya sangat jarang untuk ke Gereja. Apabila saya jarang, maka sampai sekarang saya pun tidak akan pernah sadar bahwa ke Gereja itu penting.

Dari penjelasan panjang di atas, saya memilih positive reinforcement sebagai suatu fasilitas yang efektif dalam pembentukan sikap seseorang. Dengan positive reinforcement, kita di ajarkan untuk biasa dengan suatu hal yang menurut kita tidak biasa pada awalnya (korupsi dan ke gereja), dan apabila sudah terbiasa maka tanpa diberikan suatu konsekuensi menyenangkan (uang dan hadiah), suatu sikap akan terus bisa terjadi sesuai dengan kesadaran.

Sedikit tambahan, saya tidak memilih punishment karena menurut saya suatu sikap tidak dapat terbentuk dengan menghilangkan suatu kondisi yang menyenangkan ataupun memberikan konsekuensi yang tidak menyenangkan. Hal ini sudah terlihat jelas di masyarakat kita seperti anak-anak remaja yang semakin di larang dan diberikan punishment, mereka akan semakin penasaran untuk mencoba dan sikap yang diharapkan pun akan sangat susah terbentuk. Berbeda dengan reinforcement yang memberikan konsekuensi yang menyenangkan. Hal ini saya anggap lebih efektif karena setiap orang pasti membutuhkan berbagai macam dorongan positif seperti kesenangan, pujian dan hal-hal lainnya yang positif. Oleh karena itu saya akan tetap memilih positive reinforcement.

Kode Etik Essay 3 Halaman

Menurut saya, etika profesi merupakan suatu hal yang penting untuk dimiliki oleh calon ilmuwan psikologi. Sebelum membahas pentingnya etika profesi, lebih baik kita mengetahui terlebih dahulu apa arti dari etika profesi. Etika profesi terdiri dari dua kata yaitu etika dan profesi. Menurut Isnanto (2009), etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Etika akan berkaitan dengan pokok pemikiran yang dimilki seorang atau sekelompok individu untuk membuat suatu batasan-batasan atau standard-standard tertentu, yang berguna untuk mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya ke arah yang benar. Etika ini kemudian diubah ke dalam kode (kode etik) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika dinilai menyimpang dari kode etik.

Menurut kuliah kode etik pada minggu lalu, profesi berasal dari bahasa latin yaitu professus yang berarti menyiratkan. Sesuatu bisa dikatakan sebagai profesi apabila terdapat wadah organisasi untuk menampung dan memberikan dukungan kepada sesama penyandang profesi tersebut. Kehadiran organisasi ini diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan suatu profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalahgunaan keahlian. Penyalahgunaan tersebut dapat seperti penyimpangan keahlian. Penyimpangan keahlian tersebut dapat dilihat dari contoh berikut, misalnya ada seorang psikolog sedang menangani seorang klien, ia tidak menangani keluhan klien dengan serius, ketika ditanya alasannya kenapa ia berprilaku seperti itu, ternyata hal itu disebabkan ia tidak menyukai klien dengan ciri-ciri seperti kliennya pada saat itu. Hal seperti ini yang bisa kita sebut sebagai penyimpangan keahlian. Hal ini dikarenakan, pada kenyataannya seorang psikolog harusnya menangani pasien tanpa memandang siapakah kliennya tersebut. Apabila ternyata malah psikolog tersebut melakukan penyimpangan keahlian, anggota lain yang berada di organisasi yang sama berhak untuk menegur psikolog tersebut. Peneguran yang dilakukan juga terjadi apabila psikolog tersebut melanggar etika(kode etik) yang dalam hal ini, melanggar pasal 2 yang berupa prinsip umum bagian prinsip C, profesional.

Dari pengertian etika dan profesi yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa etika profesi merupakan suatu pokok pemikiran yang tersusun dalam kode etik suatu organisasi dan harus dimiliki oleh setiap anggotanya untuk ikut berperan mengawasi suatu profesi. Salah satu pokok pemikiran yaitu kebebasan. Di dalam pokok pemikiran tersebut terdapat bidang-bidang lainnya. Seperti kebebasan, dalam kebebasan terdapat bidang-bidang seperti kebebasan dalam menyelidiki, kebebasan dalam mengomunikasi hasil penelitian, kebebasan dalam mempublikasikan hasil penelitian, dan lain-lainnya. Oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa etika profesi itu penting untuk seorang calon imuwan psikologi karena di dalam etika profesi, para psikolog diajarkan mengenal batasan-batasan mengenai sejauh mana ia harus berperan sebagai seorang psikolog nantinya. Para calon ilmuwan psikolog juga di ajarkan untuk mengetahui perbuatan apa saja yang dianggap sebagai suatu pelanggaran. Dengan begitu, para calon psikolog bisa dilatih untuk menjadi psikolog bertanggung jawab dan berkualitas yang menjalankan profesinya sesuai dengan kode etik yang ada. Kepentingan lain yang dapat di peroleh oleh seorang psikolog ialah, ia bisa mendapatkan banyak klien apabila ia sudah memahami benar mengenai kode etik. Hal ini dikarenakan klien-kliennya menganggap psikolog itu sebagai psikolog yang menjalankan profesinya dengan bertanggung jawab dan lama kelamaan akan menumbuhkan kepercayaan dari klien-kliennya. Contohnya seperti ini, seorang psikologi bidang pendidikan pekerja di suatu sekolah yang memiliki sebagian murid bermasalah. Psikolog itu mendengarkan masalah dari setiap murid dengan profesional. Ia juga mengikuti beberapa peraturan di dalam kode etik yang mengatakan bahwa ia tidak boleh membocorkan apa yang diceritakan klien kepadanya. Lama-kelamaan, ia akan menjadi seorang psikolog yang berkualitas dan dipercayai oleh murid-muridnya.

Menjadi ilmuwan psikologi tidak hanya membutuhkan kepercayaan dari kliennya, ilmuwan psikologi juga harus memperhatikan etika yang ada. Etika juga dibutuhkan untuk membantu kita dalam mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan pahami bersama. Etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya. Menurut para ahli, etika tidak lain adalah kebiasaan manusia, pedoman pergaulan, dan aturan-aturan perilaku yang menjadi dasar penegasan mana yang benar dan mana yang buruk. Di dalam etika tersebut terdapat beberapa kode etik yang sudah ditetapkan oleh suatu organisasi penampung psikologi. Kode etik tersebut harus diperhatikan sepenuhnya oleh para ilmuwan psikologi, hal ini dilakukan agar ilmuwan psikologi mengetahui batasan mana saja yang harus ia taati dan tidak boleh dilanggar. Ada beberapa contoh dari batasan-batasan atau peraturan yang harus ditaati oleh para ilmuwan psikologi. Para ilmuwan harus memperhatikan kebiasaan kliennya dari masa lalunya, karena setiap orang memiliki masa lalu berbeda-beda yang terkadang mempengaruhi kebiasaan seseorang di kedepannya. Pedoman pergaulan juga harus diperhatikan agar kenyamanan dari klien dapat terjaga sehingga klien bisa bercerita mengenai rahasia dan masalahnya dengan tidak terbebani serta tidak ada pihak yang dirugikan. Aturan-aturan yang berlaku maksudnya seperti tidak melibatkan emosi dalam saat bekerja, memperhatikan bias dan prasangka-prasangka yang mungkin saja dapat mengganggu. Menjaga tingkah laku yang baik dan yang buruk, contohnya ketika ada seorang psikolog wanita ketika menangani anak kecil, meskipun dari umur, psikolog wanita itu yang lebih berkuasa, namun tidak boleh kalau psikolog itu merasa paling berkuasa dan berprilaku semaunya sendiri. Ia seharusnya memperhatikan anak kecil tersebut dan tidak berprilaku buruk yang mungkin suatu saat bisa diikuti oleh anak kecil tersebut. Sebenarnya menjaga tingkah laku bisa juga dikatakan sebagai sikap yang harus menghormati klien. Dari uraian panjang di atas, satu poin utama yang harus diperhatikan seseorang ketika menjadi ilmuwan psikologi ialah etika.

Ada satu istilah dalam profesi psikologi yang bernama Plagiarisme atau biasa sering disebut plagiat. Menurut KBBI, plagiarisme adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Di dunia pendidikan, pelaku plagiarisme dapat mendapat hukuman berat seperti dikeluarkan dari sekolah/universitas. Pelaku plagiat disebut sebagai plagiator. Beberapa macam yang bisa digolongkan sebagai plagiarisme ialah menggunakan tulisan orang lain secara mentah, tanpa memberikan tanda jelas bahwa teks tersebut diambil persis dari tulisan lain, mengambil gagasan orang lain tanpa memberikan penjelasan yang cukup tentang sumbernya. Menurut Hexham (2005), plagiarisme juga bisa terjadi di bidang akademis yang berupa penggunaan kembali sebagian atau seluruh karya penulis tanpa memberikan sumber aslinya. Menurut saya, dalam psikologi, plagiarisme bisa terjadi apabila ada psikolog yang sedang membantu kliennya dan berniat memberikan pendapat serta solusi, namun tidak memberi penjelasan yang jelas dari mana saja solusi serta pendapat tersebut berasal, dari mana saja teori-terori yang menghubungkan solusi serta pendapat tersebut. Apakah dari diri sendiri atau mengutip dari orang lain. Hal ini harus dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman di lingkungan klien. Klien yang tidak mengetahui dari mana pendapat dan solusi untuknya muncul, mungkin saja akan mengatakan ke teman atau kerabatnya bahwa ia mendapatkan teori tersebut dari psikolog yang menanganinya. Apabila hal ini terjadi, psikolog telah melakukan plagiarism.

Sumber:

Hexham, I. (2005). Academic Plagiarism Defined, dalam id.wikipedia.org/wiki/Plagiarisme, diakses pada 4 Januari 2011

Isnanto, R. (2009). Buku Ajar Etika Profesi. Semarang, dalam eprints.undip.ac.id/4907/1/Etika_Profesi.pdf, diakses pada 3 Januari 2011

Kode etik bidang psikologi sosial

Soal:

Seseorang, sebutlah namanya FULAN, memiliki usaha fotokopi dengan teknologi mutakhir. Usahanya terletak dalam daerah yang stratregis di antara 4 buah lembaga pendidikan tinggi yang cukup terkenal dan diminati calon mahasiswa.

Ia banyak mendapatkan pesanan dari perorangan maupun perusahaan yang ingin membuat fotokopi berbagai macam dokumen, jurnal, buku, dan barang2 cetakan lainnya. Bahkan fotokopi buku yang dihasilkan tidak kalah bagusnya dan dengan harga yang jauh lebih murah dari buku aslinya. Dalam hal terakhir inilah ia mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pesanan mahasiswa yang ingin mendapatkan buku dengan harga murah.

Melihat pangsa pasar mahasiswa yang demikian besarnya, ia mengajak dua orang temannya untuk menanamkan modal mereka demi memperluas usahanya yang dengan antusias memberikan modal tambahan. Salah seorang temannya, sebutlah X, adalah seorang dosen dari salah satu dari empat lembaga pendidikan tinggi yang ada di sekitar daerah usahanya. Teman lainnya, sebutlah Y, adalah seorang mahasiswa semester2 akhir dan anak seorang kaya yang juga sudah mempunyai usaha lain sendiri.

Salah satu bentuk ‘produk’ lain yang ingin dihasilkan oleh FULAN adalah pembuatan skripsi yang ditulis berdasarkan skripsi2 lama yang sudah dibuang dari keempat lembaga pendidikan tinggi tersebut. teori lama dalam skripsi itu diperbarui ataupun diganti dengan teori baru. Data yang ada pun ‘disesuaikan’ dengan masalah yang diteliti.

Pelanggaran yang bisa ditemukan dalam kasus ini antara lain :

Pasal 28: PERTANGGUNGJAWABAN

Iklan dan Pernyataan publik yang dimaksud dalam pasal ini dapat berhubungan dengan jasa, produk atau publikasi profesional Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi di bidang psikologi, mencakup iklan yang dibayar atau tidak dibayar, brosur, barang cetakan, daftar direktori, resume pribadi atau curriculum vitae, wawancara atau komentar yang dimuat dalam media, pernyataan dalam buku, hasil seminar, lokakarya, pertemuan ilmiah, kuliah, presentasi lisan di depan publik, dan materi-materi lain yang diterbitkan.

Ayat 3: Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak membuat pernyataan palsu, menipu atau curang mengenai

a) Gelar akademik / ijazah

b) Gelar profesi

c) Pelatihan, pengalaman atau kompetensi yang dimiliki

d) Izin Praktik dan Keahlian

e) Kerjasama institusional atau asosiasi

f) Jasa atau praktik psikologi yang diberikan

g) Dasar ilmiah dan klinis, atau hasil dan tingkat keberhasilan jasa layanan

h) Biaya

i) Orang-orang atau organisasi dengan siapa bekerjasama

j) Publikasi atau hasil penelitian

Pembahasan:

Pada pasal 28 ayat 3, psikolog dilarang untuk berbuat sesuatu yang palsu, menipu dan curang mengenai jasa dari psikolog yang diberikan. Dalam kasus FULAN, para psikologi malah berbuat curang dengan menyediakan jasa pembuatan skripsi berdasarkan skripsi-skripsi yang sudah ada sebelumnya. Hal ini jelas melanggar pasal 28 ayat 3.

Pasal 29: KETERLIBATAN PIHAK LAIN TERKAIT PERNYATAAN PUBLIK

Ayat 2: Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi berusaha mencegah orang atau pihak lain yang dapat mereka kendalikan, seperti lembaga tempat bekerja, sponsor, penerbit, atau pengelola media dari membuat pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai penipuan berkenaan dengan jasa dan atau praktik psikologi. Bila mengetahui adanya pernyataan yang tergolong penipuan atau pemalsuan terhadap karya mereka yang dilakukan orang lain, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi berusaha untuk menjelaskan kebenarannya.

Pembahasan:

Kasus FULAN melanggar pasal ini karena psikolog seharusnya mencegah terjadinya pemalsuan dan penipuan yang berhubungan dengan jasa penggunaan psikolog. Akan tetapi pada kasus FULAN, mereka malah melakukan praktik yang berhubungan dengan pemalsuan dan penipuan.

Pasal 50: PELAPORAN DAN PUBLIKASI HASIL PENELITIAN

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi bersikap profesional, bijaksana, jujur dengan memperhatikan keterbatasan kompetensi dan kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku dalam melakuan pelaporan / pubikasi hasil penelitian. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan penafsiran serta menyesatkan masyarakat pengguna jasa psikologi. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah :

Ayat 1: Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak merekayasa data atau melakukan langkah-langkah lain yang tidak bertanggungjawab (lihat pasal lain misalnya terkait pengelabuan, plagiarisme dll).

Pembahasan:

Kasus FULAN melanggar pasal ini karena dengan “menyesuaikan” atau mengganti data pada skripsi lama untuk menulis/membuat skripsi baru karena adanya perbedaan dalam masalah yang diteliti, Dosen X dianggap telah merekayasa data-data yang sudah pernah ada sebelumnya dengan disesuaikan sama perkembangan jaman.

Ayat 3: Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak menerbitkan atau mempublikasikan dalam bentuk original dari data yang pernah dipublikasikan sebelumnya. Ketentuan ini tidak termasuk data yang dipublikasi ulang jika disertai dengan penjelasan yang memadai.

Pembahasan:

Kasus FULAN melanggar pasal ini karena mereka mempublikasikan data yang sudah pernah dipublikasikan sebelumnya, seperti data-data penelitian yang dilakukan di waktu terdahulu.

Pasal 52: PENGHARGAAN DAN PEMANFAATAN KARYA CIPTA PIHAK LAIN Ayat 1: Psikolog dan Ilmuwan Psikologi wajib menghargai karya cipta pihak lain sesuai dengan undang-undang, peraturan, dan kaidah ilmiah yang berlaku umum. Karya cipta yang dimaksud dapat berbentuk penelitian, buku teks, alat teks, atau bentuk lainnya harus dihargai dan dalam pemanfaatannya memperhatikan ketentuan perundangan mengenai hak cipta atau hak intelektual yang berlaku.

Pembahasan:

Apabila Fulan dan Dosen X yang juga berprofesi sebagai Psikolog menghasilkan skripsi berdasarkan skripsi-skripsi lama yang sudah dibuang, maka Dosen X dianggap telah melanggar pasal ini. Dosen X melanggar pasal ini karena tidak menghargai karya/hak cipta orang lain dan memanfaatkannya dengan tidak menggunakan ketentuan perundangan yang berlaku.

Ayat 2: Psikolog dan Ilmuwan Psikologi tidak dibenarkan melakukan plagiarisme dalam berbagai bentuknya, seperti mengutip, menyadur, atau menggunakan hasil karya orang lain tanpa mencantumkan sumbernya secara jelas dan lengkap. Penyajian sebagian atau keseluruhan elemen substansial dari pekerjaan orang lain tidak dapat diklaim sebagai miliknya, termasuk bila pekerjaan atau sumber data lain itu sesekali disebutkan sebagai sumber.

Pembahasan:

Dosen X dan fulan dianggap melakukan pelanggaran terhadap pasal ini karena menggunakan skripsi-skripsi lama milik orang lain untuk menulis atau membuat skripsi yang baru. Walaupun data atau teori yang disajikan hanya sebagian, Dosen X tetap melanggar pasal ini karena telah melakukan plagiarisme dan tidak mencantumkan sumber secara lengkap.

Ayat 3: Psikolog dan Ilmuwan Psikologi tidak dibenarkan menggandakan, memodifikasi, memproduksi, menggunakan baik sebagian maupun seluruh karya orang lain tanpa mendapatkan izin dari pemegang hak cipta.

Pembahasan:

Dosen X dianggap melanggar pasal ini karena memperbarui teori lama dalam skripsi dengan teori baru, atau dengan kata lain memodifikasi isi skripsi yang lama untuk dijadikan skripsi yang baru. Selain itu, data yang ada pada skripsi pun “disesuaikan” dengan masalah yang diteliti. Apabila Fulan merealisasikan keinginannya ini, Dosen X juga dianggap melanggar pasal karena setelah memodifikasi, beliau juga memproduksi karya yang berasal dari karya orang lain.

Orang-orang yang dapat melanggar etika:

Kelompok kami mengasumsikan bahwa orang-orang yang terlibat di dalam kasus ini, memiliki keterkaitan dengan bidang psikolog (Fulan sebagai ilmuwan psikolog, dosennya merupakan seorang psikolog dan mahasiswanya mengambil jurusan psikologi dalam universitasnya.)

Sehingga yang dapat melakukan pelanggaran etika yaitu, Fulan dan Dosen psikolog tersebut. hal ini dikarenakan kode etik diperuntukan untuk mereka yang sudah menjadi psikolog ataupun ilmuwan psikolog. Kode etik juga harus ditaati dan dijalankan sebaik-baiknya oleh mereka. Dalam kasus ini, psikolog maupun ilmuwan psikolog melakukan beberapa pelanggaran dengan pasal sebagai berikut:


- Pasal 28 ayat 3

- Pasal 29 ayat 2

- Pasal 50 ayat 1

- Pasal 50 ayat 3

- Pasal 52 ayat 1

- Pasal 52 ayat 2

- Pasal 52 ayat 3


Hal-hal yang tidak melanggar etika di sini:

- Mahasiswa Psikologi, karena kode etik hanya diperuntukan untuk psikolog dan ilmuwan psikologi, bukan mahasiswa yang sedang belajar psikologi.

- Ketika seseorang menginginkan keuntungan yang lebih besar. Karena harus diakui krn setiap manusia pasti ingin mendapatkan keuntungan yang lebih.

- Letak usaha yang strategis diantara empat buah lembaga pendidikan,

memperluas usaha dengan cara bekerja sama dengan X dan Y