Blogger Layouts

Monday, December 19, 2011

Poster Attachment - Depression

Ini salah satu poster pengukuran pada bidang psikologi:

Poster PsiPend (Bimbingan Konseling) :D

Poster ini dapat digunakan sebagai alat bantu di sekolah-sekolah untuk meningkatkan kualitas BK dan manfaat BK sendiri agar anak-anak memaksimalkan fungsinya:

Sometimes in April

Sometimes in April ialah sebuah film karya Raoul Peck pada tahun 2005 yang bercerita mengenai ketegangan antar suku Hutu dan Tutsi di Rwanda. Ketegangan ini mengakibatkan pertikaian yang berujung pada genosida pada tahun 1994. Meskipun cerita dalam film ini menggunakan sudut pandang Agustin Muganza yang merupakan seorang kapten dari tentara Rwanda, gambaran interaksi antar dua kelompok suku dapat disuguhkan dengan sangat dinamis oleh Raoul Peck. Raoul juga menggunakan pendekatan historis untuk memberikan gambaran pada penonton bagaimana awal mula prasangka antar kelompok suku bisa terjadi.

Pada bagian awal, film ini menampilkan dan menceritakan mengenai peta Afrika pada beberapa abad yang lalu. Pada mulanya, selama berabad-abad yang lalu, terdapat suku Tutsi, Hutu, dan Twa dengan berbagi budaya, bahasa, dan agama yang sama di Rwanda. Relasi antar kelompok suku tersebut tampak terjalin dengan baik. Antar kelompok juga dapat dikatakan terjadi akulturasi budaya di masa lalu. Akulturasi ini terlihat dari Suku Tutsi yang mempelajari bahasa suku Hutu, dan suku Hutu yang mempelajari sistem politik suku Tutsi (Adekunle, 2007). Selain terjadi akulturasi, kedua suku ini juga hidup rukun dan bersatu dengan diperbolehkannya terjadi pernikahan antar suku (“A Brief”, 1996).

Tahun 1916, ketika Belgia mengambil kekuasaan atas Rwanda dari Jerman, berlakulah sistem kolonialisasi klasifikasi ras dan eksploitasi. Klasifikasi ras, atau yang disebut sebagai kategorisasi sosial, merupakan penyebab timbulnya prasangka diantara kedua suku. Prasangka merupakan hal yang berbahaya karena perasaan tidak suka terhadap suatu kelompok, walaupun sedikit, tidak dapat dihentikan dan dapat menjadi kebencian yang ekstrim (Aronson, Akert & Wilson, 2007).

Stephan & Stephan (1985) juga menambahkan bahwa perbedaan ras yang terjadi di Rwanda dapat menimbulkan perilaku agresif. Perilaku agresif yang biasanya muncul dikarenakan faktor ras (race) yang timbul karena adanya diskriminasi dari kelompok mayoritas kepada minoritas. Diskriminasi terjadi karena adanya rasa marah di salah satu kelompok yang apabila dilihat dari film ini, rasa marah tersebut pertama-tama muncul ketika Belgia memecah Rwanda menjadi beberapa suku. Dalam pemecahan tersebut, Tutsi mendapatkan hak istimewa di pemerintahan.

Klasifikasi ras yang dilakukan Belgia menimbulkan kebencian (resentment) Hutu, suku mayoritas, terhadap Tutsi, suku minoritas, terlebih karena Belgia memberikan status yang lebih tinggi kepada Tutsi. Belgia menganggap Tutsi lebih unggul daripada Hutu sehingga untuk 20 tahun berikutnya, Tutsi menikmati pekerjaan dan pendidikan yang lebih baik (“Rwanda: How”, 2011). Belgia telah melakukan apa yang disebut sebagai institutional racism. Pengaturan institusional seperti ini mempengaruhi hubungan antar kelompok di bidang ekonomi, sosial, dan politik.

Faktor-faktor ini kemudian membuat Hutu merasa terancam, iri hati, tersaingi oleh Tutsi. Keirihatian Hutu karena Tutsi mendapat hak atas pemerintahan Rwanda menyebabkan Hutu merasa tidak adil. Menurut Aronson, Akert & Wilson (2010) ketika individu atau kelompok merasa apa yang mereka dapatkan saat ini kurang dari yang seharusnya, maka hal tersebut akan akan memicu perilaku agresif berupa relative deprivation.

Kronologis pada film kemudian dilanjutkan di tahun 1959, ketika Belgia menyerahkan kontrol atas Rwanda kepada Hutu. Meskipun sebelumnya Belgia lebih berpihak kepada Tutsi, hal ini dapat terjadi karena adanya propinquity effect. Hutu yang merupakan suku dominan di Rwanda menjadi suku paling sering ditemui oleh masyarakat Belgia dan lama-kelamaan terjadi mere exposure effect dimana Belgia menjadi lebih suka kepada Hutu sehingga kekuasaan diberikan kepada Hutu.

Kemerdekaan Rwanda tersebut sekaligus mendatangkan masa-masa pelembagaan segregasi anti-Tutsi dan pembantaian kaum Tutsi. Diskriminasi terhadap kaum Tutsi sudah terbentuk pada masa ini. Stephan & Stephan (1985) menyebutkan ada empat hubungan yang kemungkinan terjadi antara prasangka dan diskriminasi. Salah satu diantaranya adalah ketika masyarakat (Hutu) dengan sikap negatif terhadap kelompok minoritas (Tutsi), dapat melakukan perilaku diskriminatif dengan sengaja. Perilaku diskriminatif yang disengaja tampak dengan pemaksaan para Tutsi dan kaum Hutu moderat untuk mengungsi. Akan tetapi para pengungsi tersebut di tahun 1988 membentuk gerakan pemberontakan bernama Rwandan Patriotic Front (RPF) untuk memperoleh tanah airnya kembali. Tahun 1990 RPF melakukan serangan terhadap rezim Hutu tetapi dihentikan oleh dukungan militer Perancis dan Belgia. Kejadian ini membuat batas in-group dan out-group antara Tutsi dan Hutu semakin jelas.

Siklus perang dan pembantaian terus berlanjut hingga tahun 1993, ketika PBB akhirnya menegosiasikan pembagian kekuasaan antara kedua belah pihak. Keterangan dalam film ini menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap out-group terkait dengan kelangkaan pekerjaan atau sumber daya lainnya. Suku Tutsi dan Hutu dinilai sama-sama menginginkan kekuasaan, sehingga PBB melakukan pembagian kekuasaan diantara keduanya. Akan tetapi, untuk melindungi kekuasaan yang telah dimiliki, kaum ekstremis Hutu menolak perjanjian tersebut dan merencanakan salah satu genosida paling mengerikan sepanjang sejarah. Apa yang dilakukan oleh para ekstremis Hutu sesuai dengan norma bias in-group/out-group Tajfel. Kelompok ekstremis Hutu ingin menjaga self-concept positif mereka dengan melakukan hal yang menguntungkan kelompok mereka. Pembantaian terhadap Tutsi akan membuat Hutu menjadi dominan dan berkuasa, sehingga self-concept mereka terhadap kelompoknya menjadi semakin positif.

Setelah diperlihatkan mengenai peta Afrika dan diceritakan sedikit mengenai makna dari gambar tersebut, awal cerita pada film ini dimulai. Pada saat itu, adegan pertama berlokasi di ruangan kelas dimana tokoh utama yang bernama Agustine sedang mengajar. Selesainya ia mengajar, ia baru tersadar bahwa hujan selalu turun di bulan April dimana cerita menjadi flashback ke tahun 1994.

Pada April 1994 sebelum genosida terjadi, terlihat interaksi Agustine dengan keluarganya begitu akrab. Ia terlihat sedang bercanda dengan anaknya di halaman dan mengajaknya masuk ke rumah apabila sudah sore. Ia juga menjalin hubungan yang baik dengan istrinya. Meskipun pada saat itu sudah terdengar kabar bahwa Hutu tidak boleh menikah dengan Tutsi, namun Agustine tetap tidak ingin melepaskan istrinya yang merupakan suku Tutsi. Mereka juga sangat sayang kepada anak-anaknya. Dari interaksi yang terjalin dengan anak-anaknya, terlihat bahwa Agustine menggunakan attachment style tipe secure attachment style. Hal ini terlihat dari interaksi positif diantara keluarga. Pembentukan interaksi ini juga diperlihatkan oleh Agustine yang selalu mendekatkan dirinya kepada anak-anaknya. Salah satu contohnya dengan membacakan cerita sebelum mereka tidur dan membebaskan anak-anaknya untuk berpendapat serta bertanya akan semua hal yang mereka ingin ketahui. Hasil dari attachment style ini terlihat dari anak-anak mereka yang tumbuh menjadi pribadi terbuka dan tidak malu untuk bertanya kepada orang tuanya. Ada satu adegan dimana anak-anaknya bertanya kepada orang tuanya kenapa mereka dipanggil kecoak.

Seiring berjalannya waktu, pada suatu malam terjadi penembakan Presiden Rwanda bernama Habyarimana yang dihubungkan dengan pemberontakan RPF. Pada penembakan ini, masyarakat Tutsi dipersalahkan atas kematian Habyarimana. Pemberitaan ini pun meluas dengan adanya bantuan media. Masyarakat yang mendengar peristiwa ini sebagian besar melakukan proses scapegoating (kambing hitam) dimana pelampiasan perasaan agresifnya ke kelompok yang minoritas atau yang tidak disukai terjadi karena kecenderungan individu ketika frustrasi atau sedih. Pada kasus ini, kaum yang tidak disukai oleh mayoritas adalah Tutsi sehingga Tutsi yang dipersalahkan atas insiden penembakan pesawat presiden.

Dalam pembentukan prasangka tersebut, media berperan penting. Hal ini didukung oleh Smith (2003) yang mengatakan bahwa media pembangkit kebencian (hate media) yang paling menonjol adalah saluran stasiun radio swasta, Radio Television Libre des Mille Collines (RTLM). Peran RTLM dalam membangun diskriminasi antar suku tergambar jelas dengan penggunaan kata kecoa (cockroach) untuk menggambarkan kaum Tutsi. Ada tokoh lainnya yang bernama Honoré Botera dalam film ini. Botera merupakan adik dari Agustine. Ia berprofesi sebagai penyiar radio setempat yang suka menggunakan kalimat-kalimat provokatif untuk memberikan label kepada Tutsi sekaligus mengingatkan bahwa Hutu di masa lampau sangat menderita akibat Tutsi. Perilaku Botera dapat menyebabkan terjadi failure of logic di dalam masyarakat karena mereka telah membangun prasangka terhadap Tutsi berdasarkan emosi. Ingatan akan Tutsi yang dulu pernah sempat berkuasa terus menerus disampaikan oleh penyiar yang telah memiliki prasangka negatif terhadap Tutsi. Akibatnya, apa yang disiarkan ke masyarakat merupakan hal-hal pendukung dari prasangka negatif tersebut. Siaran RTLM yang terus menerus juga menyebabkan terjadinya persistence of stereotype. Prasangka yang dipegang oleh suatu masyarakat cenderung stabil dan sulit untuk dihilangkan, ditambah lagi dengan stimulus terus menerus dari RTLM, stereotype akan semakin kuat dan bertahan.

Menurut Aronson, Akert & Wilson (2007), media juga membentuk illusory correlations dengan menyampaikan hal-hal stereotipikal tentang wanita dan kaum minoritas. Illusory correlations adalah kecenderungan untuk melihat kaitan atau hubungan antar kejadian yang sebenarnya tidak berhubungan. Kejadian penembakan pesawat Presiden Habyarimana dihubungkan dengan pemberontakan RPF. Media kemudian mengkaitkan masyarakat Tutsi sipil dengan RPF yang sebagian besar beranggotakan Tutsi dan Hutu moderat. Masyarakat Tutsi dipersalahkan atas kematian Habyarimana.

Pemberitaan mengenai Hutu dan Tutsi pada radio menyebabkan kelompok Hutu merasakan pengalaman dan emosi yang sama sehingga mereka bisa saling berkumpul menjadi satu kelompok dan mulai menyukai orang-orang baru di dalam kelompoknya karena merasa sama. Hal seperti ini dapat dikategorikan sebagai ketertarikan yang disebabkan karena faktor similarity, dimana seseorang akan menyukai orang lain karena ketertarikannya dibidang yang sama. Alasan Hutu berkumpul dengan Hutu juga dapat disebabkan similarity dalam hal experience. Sama-sama pernah merasakan berada di bawah pemerintahan Tutsi, membuat Hutu juga semakin kesal kepada Tutsi.

Penelitian yang dilakukan Greenberg and Pyszczynski (dalam Aronson, Akert & Wilson, 2007), menunjukkan bahwa stereotype dapat dengan mudah diaktivasi untuk memiliki efek negatif terhadap persepsi dan perlakuan terhadap anggota out-group. Oleh karena itu peran media dalam meningkatkan prasangka terhadap suatu kelompok juga menjadi signifikan. Faktor dari Group Cohesiveness juga berperan dimana dalam suatu kelompok masyarakat terbentuk adanya kualitas yang mengikat, mendukung dan menyukai antar anggota kelompok secara bersama-sama (Aronson, Akert & Wilson, 2010). Dalam film ini terlihat bagaimana Hutu bersama-sama membenci dan saling mendukung untuk menyingkirkan Tutsi.

Selain faktor di atas, terdapat pula faktor lainnya yang mendukung genosida di Rwanda. Faktor tersebut adalah social exchange yang ada dalam masyarakat. Social exchange ini terlihat dari Hutu yang merasa bahwa keberadaan suku Tutsi menjadi penghalang dan ancaman bagi mereka. Keberadaan Tutsi pun dinilai tidak memiliki hubungan timbal balik yang menguntungkan bagi Hutu, dan sudah sepantasnya disingkirkan karena tidak berguna. Kemarahan yang timbul karena serangan diikuti bahaya dan ancaman akan memicu perilaku agresif (Induction Phase). Adanya rasa ancaman di pihak Hutu membuat mereka mempersepsikan emosi itu sebagai negative arousal (appraisal phase). Jika negative arousal semakin tinggi, keagresifan mereka pun akan semakin tinggi (behavior phase) dan tidak memperdulikan tindakan yang dilakukannya benar atau salah (Stephan & Stephan, 1985).

Faktor selanjutnya adalah konformitas. Konformitas yang terjadi dikarenakan adanya pengaruh normatif sosial (normative social influenfe) di mana jika ingin diterima oleh suku Hutu mereka harus membantu dalam upaya pembantaian suku Tutsi yang dianggap sebagai penghalang terbentuknya pemerintahan satu suku. Inilah alasan medasar mengapa terjadi genocide di Rwanda pada tahun 1994.

Genosida dimulai dengan mem-blockade jalan-jalan disekitar Rwanda, dari utara ke selatan, dan barat ke timur. Seluruh rumah dijadikan sasaran penembakan dan pemeriksaan suku Hutu. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan daftar nama orang-orang yang sudah dibuat oleh para ekstremis suku Hutu. Orang-orang yang berada di daftar tersebut sebagian besar merupakan suku Tutsi, anggota suku Hutu yang telah menikah dengan suku Tutsi, dan anggota suku Hutu yang dianggap sebagai penghianat. Dikeluarkanya daftar nama tersebut membuat suku Hutu membentuk konformitas untuk merubah perilakunya mengikuti semua yang dikatakan oleh para ekstrimis Hutu. Mereka tidak berani membantu suku Tutsi karena takut tidak diterima oleh suku Hutu lainnya dan konformitas ini juga berguna agar mereka terjamin keselamatannya.

Pemeriksaan yang terjadi di rumah-rumah telah diketahui Agustine sebelumnya. Ia juga telah mengetahui bahwa rumahnya juga akan diperiksa. Mengetahui bahwa akan ada petugas Hutu yang datang, ia langsung berusaha untuk menyembunyikan istrinya dari pemeriksaan tersebut. Istrinya yang merupakan suku Tusti dititipkan ke tetangga berkewarganegaraan Belgia. Akan tetapi, warga Belgia tersebut awalnya tidak ingin menerima kehadiran mereka. Sampai pada akhirnya Agustine harus memohon kepada warga Belgia tersebut untuk menolong istri dan anak-anaknya tanpa dirinya. Beruntungnya warga Belgia tersebut akhirnya menolong keluarga Agustine. Bentuk pertolongan ini dapat dikategorikan sebagai emphaty altruism hypothesis dimana warga Belgia terdorong hatinya untuk menolong anak-anak dan wanita. Dalam melakukan pertolongan ini, warga Belgia tersebut tidak memikirkan imbalan apa yang akan didapatkannya.

Tindakan yang dilakukan selanjutnya oleh Agustine saat itu adalah menelpon Botera untuk membantunya mengamankan istrinya ke suatu hotel di tengah kota. Agustine tidak hanya meminta Botera untuk menolong istrinya. Ia juga memintanya untuk menolong Xavier yang merupakan teman dekatnya yang bersuku Tusti. Agustine melakukan ini karena ia merasa dekat dengan Xavier. Hal ini didukung oleh Stephan & Stephan (1985) yang mengatakan bahwa kedekatan dan kesamaan besarnya penderitaan yang dialami oleh orang yang ditolong merupakan faktor yang mendorong seseorang untuk menolong. Agustine memilih Botera untuk mengamankan istrinya karena Botera cukup disukai oleh masyarakat Hutu yang sedang melakukan pembantaian. Botera disenangi oleh masyarakat karena ia bekerja di radio setempat dan memiliki relasi yang banyak. Hal ini sesuai seperti yang dikatakan oleh Eagly (dalam Aronson, Akert & Wilson, 2010) bahwa seseorang akan lebih atraktif dan disukai apabila ia lebih bersikap sosial (mudah bergaul), ekstrovert, dan popular. Berscheid (dalam Aronson, Akert & Wilson, 2010) juga mengatakan mengenai ‘the power of familiarity’. Familiarity juga dapat meningkatkan tingkat ketertarikan seseorang. Pada film, sebelum Botera mencapai hotel, mereka harus melewati beberapa pemeriksaan. Agustine berasumsi dengan menggunakan muka Botera, seharusnya ia dapat lewat dari pemeriksaan dan mengamankan keluarganya. Akan tetapi ternyata Agustine salah. Anak-anaknya meninggal saat pemeriksaan menuju hotel terjadi. Perjuangan yang dilakukan Agsutine untuk menolong keluarganya agar terbebas dari serangan ekstrim Hutu merupakan perilaku altruism, dimana ia mau menolong keluarganya meskipun harus mengorbankan dirinya (Aronson, Akert & Wilson, 2010 ; Stephan & Stephan, 1985).

Agustine yang tidak mengetahui bahwa anak-anaknya telah meninggal, merencanakan untuk menyusul mereka ke hotel tempat perlindungan. Pada akhirnya ia dan Xavier berencana untuk pergi dari rumah dan menuju hotel menggunakan mobil. Saat hendak pergi dari rumah, Agustine bertemu dengan dua kelompok yang melakukan penyiksaan terhadap Tutsi. Dua kelompok tersebut yaitu ekstrim Hutu dan sekumpulan orang pemabuk. Keduanya berada di ujung jalan. Aronson, Akert & Wilson (2010) mengatakan bahwa salah satu penyebab orang melakukan agresif adalah penggunaan alkohol. Gagasan Aronson ini didukung oleh Stephan & Stephan (1985) bahwa penggunaan alkohol meningkatkan perilaku agresif seseorang. Akan tetapi ternyata perilaku yang terjadi ini merupakan salah satu bentuk dari misattribution of arousal.

Dalam perjalanan Agustine menuju hotel, ia bertemu sekelompok Hutu yang menyuruhnya untuk turun dari mobil dan menunjukan kartu tanda penduduknya. Xavier yang bersuku Tutsi disuruh berpisah dari kelompok Hutu untuk dibunuh. Agustine yang melihat peristiwa tersebut berusaha untuk membelanya kerabatnya dan ternyata Xavier tetap dibunuh oleh RPF. Agustine melakukan pembelaan karena ia merasa memiliki hubungan dekat dengan Xavier meskipun temannya itu bersuku Tutsi.

Selain rumah, sekolah juga menjadi sasaran pemeriksaan dan pembantaian. Sekolah wanita St. Marie yang terletak di Rwanda menjadi sasaran pemeriksaan. Satu sekolah langsung panik ketika didatangi oleh suku Hutu. Kepanikan ini membuat anak-anak yang ada di sekolahnya tidak memiliki waktu untuk berhenti dan berpikir tindakan apa yang seharusnya dilakukan pada saat itu. Perubahan perilaku yang terjadi saat itu dapat dikatakan karena berdasarkan informational social influence disekelilingnya. Terlihat bahwa anak-anak dengan tertib dan panik mengikuti apa yang diperintahkan oleh gurunya saat para ekstrimis datang ke sekolah mereka. Tanpa banyak bertanya mereka masuk ke dalam kamar asramanya masing-masing. Mereka melakukan hal tersebut karena yakin bahwa orang yang mempengaruhi mereka lebih mengetahui tindakan yang harusnya dilakukan (private acceptance). Akan tetapi, sebagaian besar murid ada juga yang melakukan public compliance karena mereka tidak mengetahui apakah hal yang mereka lakukan benar atau tidak. Buktinya adalah ketika di sebuah kamar asrama seluruh murid memutuskan untuk tidak mau memisahkan diri menjadi suku Hutu dan suku Tutsi. Pada awalnya guru mereka meminta mereka mengeluarkan tanda pengenal mereka dan memisahkan diri menjadi dua kelompok suku. Salah satu dari murid mengatakan bahwa ia akan menyerahkan dirinya, lalu murid lain ada yang mengatakan akan ikut serta jika ada yang menyerahkan diri dengan alasan mereka semua sudah seperti saudara. Lama kelamaan satu persatu dari mereka menyepakatai hal tersebut. Pada akhirnya mereka semua dibunuh oleh para ekstrimis secara masal dengan ditembaki di dalam kamar asrama tersebut.

Penembakan yang terjadi di sekolah ini dapat dikatakan sebagai efek negatif dari social roles. Meskipun di dalam social roles seseorang jadi mengetahui peran mereka sesungguhnya di suatu kelompok masyarakat, namun dapat pula menyebabkan perilaku menyimpang seperti penembakan tersebut. Mereka jadi tidak mengetahui apa sebenarnya peran mereka sesungguhnya. Dalam pembantaian ini, seharusnya mereka hanya membunuh suku Tutsi saja, namun terlihat bahwa banyak juga suku Hutu yang ikut terbunuh. Adanya stimulus ternyata juga menyebabkan agresif (Aronson, Akert & Wilson, 2010; Stephan & Stephan, 1985). Beragamnya jenis senjata, mulai dari pistol, pisau, dan benda perang lainnya semakin menstimulus suku Hutu untuk melakukan tindakan agresif.

Pembunuhan yang terjadi di sekolah ini disebabkan oleh rendahnya public self awareness dari pihak ekstrim Hutu kepada suku Tutsi. Rendahnya awareness ini terjadi karena kondisi yang membuat ekstrim Hutu merasa tidak memiliki tanggung jawab atas penderitaan yang dialami Tutsi. Padahal sebelum dibunuh, para korban sudah berusah agar ekstim Hutu memberikan belas kasih kepada mereka. Korban-korban yang merupakan siswi-siswi St. Marie melakukan hal ini karena mereka merasa bahwa tidak ada perbedaan di antara mereka. Bagi mereka, seluruh siswi-siswi St.Marie adalah sama, tidak ada Hutu ataupun Tutsi. Dalam peristiwa ini terlihat juga bahwa kedekatan dan kesamaan dapat menjadi motivasi seseorang untuk menolong.

Setelah peristiwa penembakan secara brutal di sekolah terjadi, guru dan beberapa murid yang masih hidup bisa tetap bangun dan menyelamatkan diri. Guru yang melihat murid-muridnya lemas menimbulkan rasa empati terhadap dua anak muridnya. Menurut Stephan & Stephan (1985), rasa empati yang dimiliki oleh salah satu guru dari sekolah St. Marie saat menolong kedua siswinya (Anna-Marie dan Victoria) terlihat ketika beliau tidak meninggalkan kedua muridnya, bahkan beliau berusaha untuk mencari pertolongan dan merawat Anna-Marie. Aronson, Akert & Wilson (2010) mengatakan ketika seseorang berempati, maka ia akan terdorong untuk menolong orang lain tanpa memikirkan imbalan yang didapatnya (emphaty altruism hypothesis). Hal ini pulalah yang dilakukan oleh sang guru ketika menolong muridnya.

Awareness lainnya juga dapat dilihat dari private self awareness para anggota RPF. Berbeda dengan public self awereness, private self awareness lebih bersifat ke dalam diri setiap individu. Jadi, perilaku yang dilakukannya disesuaikan dengan standarad yang dimiliki oleh setiap individu secara personal. Ketika ekstrim Hutu merasa bahwa agresif merupakan suatu hal yang benar, maka private self aggression mereka terhadap agresi akan meningkat (Stephan & Stephan, 1985). Pada film ini terlihat ketika kesakitan dan penderitaan yang dialami oleh kelompok yang dianggap musuh bagi ekstrim Hutu bukan lagi menjadi rasa empati melainkan suatu pencapaian yang berhasil mereka dapat karena sudah sesuai tujuan, yaitu memusnahkan Tutsi.

Selama proses genosida berlangsung, beberapa Negara memberikan komentarnya terhadap peristiwa ini. Salah satunya yaitu President Amerika, Clinton yang mengatakan bahwa orang-orang dibunuh karena mereka memiliki kartu identitas yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang Tutsi, atau karena memiliki orangtua Tutsi, atau karena orang menganggap penampilannya mirip Tutsi, atau karena melindungi orang Tutsi, atau karena orang tersebut tidak mengikuti kebijakan untuk memusnahkan kaum Tutsi. Cuplikan pidato tersebut sangat menggambarkan betapa kuat tindakan diskriminatif yang dapat dilakukan satu kelompok terhadap kelompok lain akibat prasangka.

Genosida secara besar-besaran yang terjadi di Rwanda dapat disimpulkan terjadi karena perilaku konformitas yang dilakukan oleh sebagian besar suku Tutsi. Perubahan perilaku mereka yang menjadi brutal tersebut berdasarkan atas pengaruh informasi sosial (informational social influence) yang ada saat itu. Genosida juga merupakan situasi krisis di mana orang tidak memiliki waktu untuk berhenti dan berpikir sejenak dalam melakukan sesuatu. Hal ini yang mendasari sebagian besar suku Tutsi merubah perilakunya sesuai dengan tindakan yang dilakukan orang lain. Sebagian dari mereka melakukannya karena yakin bahwa orang yang mempengaruhi mereka lebih mengetahui tindakan yang harus dilakukan (private acceptance).

Faktor penguat selain konformitas adalah deindividuation. Dalam tragedi di Rwanda, deindividuation sangat jelas terjadi. Menurut Aronson, Akert & Wilson (2010), deindividuation adalah suatu peristiwa dimana kendala normal sebuah perilaku semakin melonggar ketika seseorang tersebut sulit untuk diidentifikasi (dalam Aronson, Akert & Wilson, 2010). Dalam kasus Rwanda pembantaian masal terhadap suku Tutsi terjadi secara membabi buta tidak mengenal rasa prikemanusiaan, tidak memandang dengan siapa mereka berhadapan (saudara, tetangga, mapun kerabat terdekat). Dalam cerita tersebut suku Hutu khususnya cenderung membabi buta dalam melakukan pembataian. Hal tersebut dapat terjadi karena proses begitu cepat dan bersifat masal sehingga sulit sekali untuk mengidentifikasi pelaku pembantaian.

Selesainya peristiwa genosida yang terjadi di Rwanda, sekitar 800.000 juta jiwa orang melayang dalam 100 hari. Peristiwa ini membawa trauma dan stres tersendiri bagi mereka yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Hans Selye (dalam Aronson, Akert & Wilson, 2010) merupakan salah seorang pelopor penelitian tentang stres, mendefinisikan stres sebagai respon fisiologis tubuh terhadap kejadian yang mengancam. Menurutnya, setiap orang pasti pernah mengalami suatu peristiwa yang mungkin dapat menjadi trauma bagi mereka. Ketika trauma tersebut datang, ada dua pilihan yang dapat diambil. Pilihan pertama mengubur dalam-dalam seluruh peristiwa trauma dan tidak ingin membicarakannya dengan siapapun, dan pilihan kedua adalah memikirkan peristiwa tersebut, mendiskusikannya dengan orang lain, dan menganalisis peristiwa tersebut.

Pada film ini, Agustine terlihat mengalamai stress karena peristiwa traumatis yang terjadi pada April 1994. Awalnya ia menolak untuk bertemu dengan Botera dan menghindar untuk membahas mengenai peristiwa traumatis tersebut. Tapi pada akhirnya ia dapat membuka diri mengenai traumanya tersebut dan mau mendengar cerita dari saudaranya mengenai kejadian yang sebenarnya terjadi pada saat itu. Keterbukaan Agustine ini menuntunnya ke hidup yang lebih sehat. Keterbukaan ini sebenarnya juga berguna bagi mereka yang ingin menekan perasaan trauma mereka. Hal ini dikarenakan biasanya seseorang akan lebih mudah teringat akan suatu hal apabila mereka berpikiran untuk tidak memikirkan hal tersebut.

Keterbukaan Agustine pada saat mendengarkan cerita Botera tentang keluarganya menunjukan bahwa ia memiliki passionate love. Hal ini terlihat dari kesetiannya bersama istrinya. Meskipun ia sudah tidak bertemu dengan istrinya selama kurang lebih sepuluh tahun, ia tetap tidak menikah lagi dan tetap ingin mendengar kabar sebenarnya dari adiknya yang terakhir kali bertemu dengan istrinya. Ia juga menangis dan sedih ketika diceritakan mengenai istrinya.

Tokoh lainnya yang juga mengalami trauma adalah Martine (guru di sekolah St. Marie). Ia memiliki kejadian traumatis ketika terbangun dari pingsan dan menyadari bahwa ia berada satu ruangan dengan para muridnya yang telah ditembak sampai mati. Ia tidak berkeinginan untuk membahas kejadian itu lagi namun pada akhirnya ia memberanikan diri untuk kembali ke tempat kejadian tersebut. Tidak hanya itu, ia juga mampu bersaksi pada saat pelaku pembunuhan sedang diadili.

Daftar Pustaka

A Brief History 1400-1994. (1996). Diakses pada tanggal 12 Desember 2011 dari edition.cnn.com/EVENTS/1996/year.in.review/topten/hutu/history.html

Adekunle, J. (2007). Culture and Customs of Rwanda. Connecticut: Greenwood Publishing Group.

Aronson, E., Akert, R. M., & Wilson, D.T. (2007). Social Psychology 6th ed. NJ: Pearson Prentice Hall.

Aronson, E., Akert, R. M., & Wilson, D.T. (2010). Social Psychology 7th ed. NJ: Pearson Prentice Hall.

Rwanda: How The Genocide Happened. (2011, 17 Mei). Diakses pada tanggal 12 Desember 2011 dari bbc.co.uk/news/world-africa-13431486.

Smith, R. (2003, 3 Desember). The Impact of Hate Media in Rwanda. Diakses pada tanggal 12 Desember 2011 dari news.bbc.co.uk/2/hi/africa/3257748.stm

Stephan, C. W. & Stephan, W. G. (1985). Two Social Psychology An Integrative Approach. Illionis: The Dorsey Press.

Friday, May 27, 2011

Miskin-miskin

MicrosoftInternetExplorer4

MISKIN-MISKIN

Pada pembahasan kali ini, akan dibahas mengenai kelompok miskin yang melihat kelompok miskin pula disekitarnya. Apabila sebelumnya sudah di bahas mengenai kelompok miskin yang melihat kelompok kaya dan kelompok kaya yang melihat kelompok miskin, maka pada pembahasan ini pula akan dibahas sama seperti kelompok-kelompok tersebut.

Pertama-tama, harus kita lihat bahwa pada kelompok ini, masing-masing kelompok memiliki kesamaan. Kesamaannya yaitu, derajat. Karena apabila masyarakat luas melihat 2 orang yang kedua-duanya miskin, pasti orang tersebut langsung bertanggapan bahwa kedua orang tersebut memiliki atau berada di tingkat derajat yang sama.

Kesamaan ini, memungkinkan untuk kedua kelompok ini untuk bersatu. Namun, lain halnya apabila kedua kelompok ini tidak bersatu. Apakah yang akan terjadi??

1. Mereka dapat saling membantu untuk berjuang menjadikan hidup kearah yang lebih baik dengan cara persaingan sehat. Artinya, dengan persaingan sehat mereka berlomba-lomba menjadikan status derajat mereka menjadi ke arah yang lebih baik. Hal itu dilakukan karena menurut hasil pengamatan, seseorang menjadi memiliki semangat kerja apabila orang tersebut merasa tertantang(baca=memiliki saingan).

2. Diantara mereka akan terjadi perselisihan mengenai uang. Artinya, masing-masing kelompok pasti memerlukan uang untuk memenuhi kehidupan mereka. Disini lah akan mengakibatkan perselisihan. Misalnya, ada 1 kelompok yang sangat memerlukan uang. Ia meminjam uang ke kelompok lain. Karena kelompok tersebut baru saja mendapatkan undian, maka kelompok tersebut pun memberikan pinjaman uang. Ketika beberapa hari kemudian, kelompok yang baru saja memenangkan undian, meminta balik uang nya kepada kelompok yang meminjam karena uang undiannya sudah habis dan hendak menggunakan uang yang dipinjam tersebut. Karena kelompok tersebut belum mendapatkan uang pinjamannya, maka bukan hal yang tidak mungkin apabila perselisihan dapat terjadi dan disebabkan oleh uang.

Dua contoh diatas merupakan sebagian kecil contoh dari beberapa contoh yang ada.

Sekarang, kita lihat apa yang akan terjadi apabila kedua kelompok tersebut bergabung menjadi satu.

  1. Kelompok tersebut dapat menjadi satu kesatuan yang kuat dan saling mendukung antara 1 kelompok dengan yang lain.
  2. Kelompok tersebut dapat menjadi penghibur lara bagi masing-masing kelompoknya. Misalnya, 1 kelompok ada yang terkena musibah, maka kelompok lainny ada yang memberi penyemangat supaya kelompok yang lain sadar bahwa masih ada seseorang disamping mereka.
  3. Terhindar dari sifat-sifat manusia yang tidak baik. Seperti sirik, dendam, kesal. Dengan bergabungnya suatu kelompok dengan kelompok lain, lama-kelamaan pun ketegangan di antara kelompoknya akan mencair.

Masih banyak pula contoh-contoh disamping 3 contoh diatas.

Setelah kita membahas yang seperti diatas, mari sekarang kita membahas pentingnya kelompok miskin untuk orang miskin tersebut sendiri.

Kelompok miskin. Mendengar kata-kata tersebut pasti pikiran kita langsung terbayang dengan sekelompok orang yang berada di pinggir jalan dan bekerja sebagai pemulung atau pengamen jalanan. Pikiran lain yang biasa terlintas, ialah gambaran para manusia yang berpakaian tidak layak pakai.

Disamping itu semua, kita musti ingat bahwa mereka juga makhluk sosial seperti kita. Mereka pasti tidak dapat hidup sendiri. Mereka juga membutuhkan manusia disampingnya. Dalam pembahasan kali ini, “manusia disampingnya” dapat pula diartikan sebagai “kelompok miskin”. Sehingga, meskipun sosok seseorang manusia digolongkan miskin, ia tidak harus selalu berada disamping orang yang kaya supaya kebutuhannya dapat terpenuhi. Orang tersebut dapat saja berada di samping orang miskin. Dengan hidup berdampingan, mereka akan lebih senang. Dibandingkan, mereka hidup dengan orang kaya yang tidak semua orang kaya baik. meskipun semua orang miskin juga tidak semua baik, namun, hidup disebelah orang yang sederajat akan membuat nyaman seseorang tersebut.

Pada pandangan hidup kelompok miskin-miskin, kemungkinan bahagia akan lebih besar dibandingkan dengan pandangan kelompok hidup miskin-kaya atau kaya-miskin. Karena pada kasus ini, sifat “ingin memiliki harta orang lain” berkemungkinan lebih kecil untuk terjadi.

Tetapi, pada kelompok ini, dapat pula menyebabkan kesengsaraan. Contohnya pada kasus seperti ini:

“Semalam diberitakan di sebuah TV swasta bagaimana beberapa puluhan orang dan anak kecil terluka akibat jatuh dan terinjak-injak oleh banyaknya orang yang bersemangat berebut untuk menerima zakat dari seorang pengusaha di kota Semarang. Di hari yang sama di sebuah pesantren di Jawa Timur juga diberitakan hal serupa.

Dari dua kejadian itu dapat dilihat, pertama, banyaknya rakyat yang hidup dalam kondisi miskin. Miskin tentu ada banyak sebab, di antaranya faktor luar. Itu yang paling gampang dikatakan. Cari kambing hitam. Kedua, menunjukkan mentalitas sebagian besar mereka yang terlibat pada kejadian itu untuk mengakui bahwa dirinya pantas untuk menerima zakat.

Meminta tentu berbeda dengan menerima. Ketika kita secara aktif berbondong-bondong menuju ke suatu tempat karena tahu ada pembagian maka tindakan itu sama dengan tindakan meminta-minta.

Apakah mereka yang melakukan itu begitu tidak mampunya sehingga mampu mengalahkan harga diri sampai titik yang terendah untuk melakukan tindakan meminta.

Apakah semangat yang sama tidak bisa dilakukan untuk memperoleh rejeki halal tanpa harus meminta? Kalau kita benar beriman apakah kita meragukan kemurahan hati Tuhan atas segala jerih upaya selain hanya menadahkan tangan meminta?”

Pada kasus ini, sesorang yang miskin sampai merelakan harga dirinya untuk meminta-minta. Selain itu, pada kasus ini pula kelompok miskin-miskin membuktikan bahwa betapa susahnya mereka untuk hidup. Cukup sengsara kah? Orang-orang, menanggapi berita pada artikel tersebut dengan bermacam-macam komentar. Inilah sebagian komentar dari beberapa orang:

Pendapat pertama=

“Insiden desak/desakan dan himpit-himpitan saat pembagian zakat dan sedekah nggak perlu terjadi kalau para dermawan mau belajar dari pengalaman yang sudah-sudah. Sebab dari tahun ke tahun kasus yang sama selalu terulang. Agar tidak terjadi lagi, ada baiknya zakat, infaq dan sedekah disalurkan ke lembaga amil zakat yang amanah.
Soal martabak eh martabat, kaum dhuafa sudah nggak peduli dengan kata martabat. Lha wong para pemimpin saja sudah nggak punya martabat. Kalau punya, nggak mungkin bangsa ini terus menerus dilecehin negara jiran!”

Pendapat kedua=

“apakah meminta-minta itu tidak halal...belum tentu mereka malas, belum tentu mereka tidak berusaha, belum tentu mereka mau...jadi memang sudah tidak ada jalan keluar, kepada siapa lagi mereka mau minta bantuan...
menurutku masih lebih bejat orang yang tidak jujur sperti contoh mas bajoe mengenai pejabat publik, karyawan bahkan pengusaha yang mengambil apa yg bukan miliknya. Tetapi yang membuat aku lebih sedih adalah contoh yg diambil oleh mbak firsa bahwa kita memiskinkan bangsa kita sendiri dengan membodohi mereka...
kalau soal hati nurani, mungkin diantara mereka ada yang lebih mempunyai hati nurani daripada orang-orang yang lebih mampu bahkan aku secara pribadi. mungkin hati nurani kita lebih tumpul daripada mereka...selama mereka punya nurani pasti mereka punya harga diri
kalau kita mampu membantu mereka bahkan lebih baiknya mendidik mereka, mari kita lakukan...jangan berkata 'mereka sudah tidak punya harapan', yang membuat tidak punya harapan itu kita, yang nota bone syukur-syukur lebih mampu dari mereka
aku membuat komentar ini, bukan berarti aku sudah berhasil membantu/mendidik mereka...masih jauh dari itu...tetapi paling tidak aku selalu berpikir, bisakah aku tidak membuat satu orang lagi meminta-minta, bisakah aku membuat satu orang menjadi pandai”

Pendapat ketiga:

“Banyak contoh bahwa orang miskin juga bermartabat. Mereka hanya berpikir hari ini bisa makan apa walaupun hanya satu kali sehari. Mereka tidak pernah berpikir untuk menumpuk harta walaupun dengan jalan yang tidak halalpun sebenarnya mereka bisa (red-kriminal). Inilah yang membedakan mereka dengan mereka-mereka yang sebenarnya jauh lebih miskin di hati sanubarinya. Begitu bermartabatnya mereka sehingga dalam Al Quran diperintahkan untuk setiap muslim berpuasa agar dapat berempati merasakan penderitaan mereka dan di akhir bulan Ramadhan ber zakat fitrah dengan menyisihkan 2,5% dari harta kita untuk mereka.”

Melihat pendapat di atas, banyak pula kontroversi yang terjadi. Semuanya kembali lagi ke masing-masing orang. Bagi mereka yang peduli, mereka akan menyisihkan sebagian harta untuk mereka. Namun bagi yang tidak, mereka akan membiarkan rakyat miskin untuk berusaha sendiri.

KESIMPULAN=kehidupan antara kelompok miskin dengan kelompok miskin tidak semuanya berjalan lancar dan tidak semuanya berjalan sengsara.

Friday, May 13, 2011

Penjajahan : Belanda

MicrosoftInternetExplorer4

Penjajahan : Belanda

No.

Strategi Penjajahan

Cara Kerja

Reaksi Bangsa Indonesia

1.

Monopoli Dagang

-)Pelayaran Hongi

-)Hak ekstirpasi

-) Terjadi perubahan kehidupan masyarakat yang menyangkut ekonomi.

2.

Mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia

-) Kegiatan produksi pertanian diserahkan kepada penduduk pribumi.

-) VOC campur tangan terhadap Indonesia.

-) Kehidupan penduduk merosot.

3.

Kerja Rodi atau kerja paksa

-) Mengerajkan untuk membangun jalan raya dari Anyer sampai Panarukan.

-) Melakukan atau menetapkan penyerahan wajib berupa hasil panen rakyat setempat.

-) Timbul solidaritas antar etnis bumi putra (penduduk pribumi) sehingga mulai ada embrio nasionalisme.

4.

Sistem tanam paksa

-) Penduduk desa diwajibkan menyediakan seperlima luas tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor yang laku di pasar dunia, misalnya kopi, gula, tembakau dan nila.

-) Tanah itu dibebaskan dari pajak.

-) Hasil tanaman dagangan itu diserahkan kepada pemerintah dan kelebihan harga dari kewajiban bayar pajak yang ditentukan akan dibayar kembali oleh pemerintah.

-)Wajib untuk mengerjakan tanaman dagang wajib itu tidak boleh lebih dari waktu untuk menanam padi.

-)Wajib tanam dapat diganti dengan tenaga untuk bekerja di pabrik sebagai tenaga pengangkut hasil dan pengolahan tanaman dagang itu.

-) Kegagalan panen yang bukan karena kesalahan petani menjadi tanggungan pemerintah.

-) Mereka yang bukan petani, wajib berkerja di lading-ladang pemerintah selama 66 hari dalam setahun.

-) Bangsa Indonesia menilai, kewajiban menyediakan seperlima dari tanahnya terlalu dipaksakan.

-) Petani merasa sangat dirugikan.

Penjajahan : Inggris

No.

Strategi Penjajahan

Cara Kerja

Reaksi Bangsa Indonesia

1.

Sistem sewa tanah

-) pemungutan pajak tanah ditetapkan seperlima, dua perlima, atau sepertiga hasil panenan.

-) Pajak tanah dikenakan pada semua hasil tanaman sawah, dan dibayarkan dalam bentuk uang atau barang.

-) Banyak rakyat Indonesia yang masih terikat pada feodalisme dan belum mengenal uang.

orde baru

MicrosoftInternetExplorer4

Apa yang dimaksud orde baru?

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Mengapa orde baru ingin melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen?

Dalam kurun waktu 1966-1998,dengan berlandaskan SUPERSEMAR ( Surat Perintah Sebelas Maret ) ,maka pengemban supersemar yaitu Letnan Jendral TNI Soeharto membubarkan PKI dan ormas-ormasnya yang ditanggapi dan disambut dengan penuh kelegaan oleh seluruh rakyat.Dengan semangat supersemar itu pula orde baru mawas diri dan melaksanakan koreksi total dengan cara konstitusional,terutama dalam menegakkan,mengamankan ,mengamalkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen yang menjadi alasan lahirnya orde baru. Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat \"sakral\", diantara melalui sejumlah peraturan: Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983. Pemerintah yang dipimpin oleh Soeharto menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 ( hutang Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt ) dan 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan sumber alam kita

Beberapa contoh penyelewengan terhadap pancasila dan UUD 1945 pada masa orde lama dibidang ideologi =

Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada fihak swasta untuk menghancur hutan dan sumberalam kita.

Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", diantara melalui sejumlah peraturan:

  • Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
  • Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.

Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
* Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
* MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
* Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia

Beberapa contoh penyelewengan terhadap pancasila dan UUD 1945 pada masa orde lama dibidang politik =

  • semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
  • pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
  • munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
  • kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
  • bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
  • kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
  • kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel
  • penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
  • tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)

Apa yang dimaksud dengan pembangunan nasional?

Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesimbungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa , dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termasuk dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.

Mengapa pemerintahan orde baru melaksanakan pembangunan secara besar-besaran disegala bidang?

Pada masa pemerintahan orde baru melaksanakan pembangunan secara besar-besaran di segala bidang. Pemerintah orde baru ingin mewujudkan pembangunan nasional yang maksimal, sehingga untuk melaksanakannya harus dilakukan pembangunan dari segala bidang. Pembangunan nasional adalah pembangunan dari, oleh dan untuk rakyat maka harus dilaksanakan di semua aspek kehidupan bangsa yang meliputi aspek politik, ekonomi, social budaya, dan aspek pertahanan keamanan. Oleh karena itulah pembangunan nasional pada orde baru dilakukan di segala bidang secara besar-besaran agar mencapai keberhasilan maksimal.

Keadaan masyarakat dibidang politik pada masa orde baru =

Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.

Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.

Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).

Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.

Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

Keadaan masyarakat dibidang sosial pada masa orde baru =

Eksploitasi sumber daya

Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.

Warga Tionghoa

Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.

Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[rujukan?].

Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.

Perpecahan bangsa

Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.

Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.