Ini salah satu poster pengukuran pada bidang psikologi:
Monday, December 19, 2011
Poster PsiPend (Bimbingan Konseling) :D
Sometimes in April
Sometimes in April ialah sebuah film karya Raoul Peck pada tahun 2005 yang bercerita mengenai ketegangan antar suku Hutu dan Tutsi di Rwanda. Ketegangan ini mengakibatkan pertikaian yang berujung pada genosida pada tahun 1994. Meskipun cerita dalam film ini menggunakan sudut pandang Agustin Muganza yang merupakan seorang kapten dari tentara Rwanda, gambaran interaksi antar dua kelompok suku dapat disuguhkan dengan sangat dinamis oleh Raoul Peck. Raoul juga menggunakan pendekatan historis untuk memberikan gambaran pada penonton bagaimana awal mula prasangka antar kelompok suku bisa terjadi.
Pada bagian awal, film ini menampilkan dan menceritakan mengenai peta Afrika pada beberapa abad yang lalu. Pada mulanya, selama berabad-abad yang lalu, terdapat suku Tutsi, Hutu, dan Twa dengan berbagi budaya, bahasa, dan agama yang sama di Rwanda. Relasi antar kelompok suku tersebut tampak terjalin dengan baik. Antar kelompok juga dapat dikatakan terjadi akulturasi budaya di masa lalu. Akulturasi ini terlihat dari Suku Tutsi yang mempelajari bahasa suku Hutu, dan suku Hutu yang mempelajari sistem politik suku Tutsi (Adekunle, 2007). Selain terjadi akulturasi, kedua suku ini juga hidup rukun dan bersatu dengan diperbolehkannya terjadi pernikahan antar suku (“A Brief”, 1996).
Tahun 1916, ketika Belgia mengambil kekuasaan atas Rwanda dari Jerman, berlakulah sistem kolonialisasi klasifikasi ras dan eksploitasi. Klasifikasi ras, atau yang disebut sebagai kategorisasi sosial, merupakan penyebab timbulnya prasangka diantara kedua suku. Prasangka merupakan hal yang berbahaya karena perasaan tidak suka terhadap suatu kelompok, walaupun sedikit, tidak dapat dihentikan dan dapat menjadi kebencian yang ekstrim (Aronson, Akert & Wilson, 2007).
Stephan & Stephan (1985) juga menambahkan bahwa perbedaan ras yang terjadi di Rwanda dapat menimbulkan perilaku agresif. Perilaku agresif yang biasanya muncul dikarenakan faktor ras (race) yang timbul karena adanya diskriminasi dari kelompok mayoritas kepada minoritas. Diskriminasi terjadi karena adanya rasa marah di salah satu kelompok yang apabila dilihat dari film ini, rasa marah tersebut pertama-tama muncul ketika Belgia memecah Rwanda menjadi beberapa suku. Dalam pemecahan tersebut, Tutsi mendapatkan hak istimewa di pemerintahan.
Klasifikasi ras yang dilakukan Belgia menimbulkan kebencian (resentment) Hutu, suku mayoritas, terhadap Tutsi, suku minoritas, terlebih karena Belgia memberikan status yang lebih tinggi kepada Tutsi. Belgia menganggap Tutsi lebih unggul daripada Hutu sehingga untuk 20 tahun berikutnya, Tutsi menikmati pekerjaan dan pendidikan yang lebih baik (“Rwanda: How”, 2011). Belgia telah melakukan apa yang disebut sebagai institutional racism. Pengaturan institusional seperti ini mempengaruhi hubungan antar kelompok di bidang ekonomi, sosial, dan politik.
Faktor-faktor ini kemudian membuat Hutu merasa terancam, iri hati, tersaingi oleh Tutsi. Keirihatian Hutu karena Tutsi mendapat hak atas pemerintahan Rwanda menyebabkan Hutu merasa tidak adil. Menurut Aronson, Akert & Wilson (2010) ketika individu atau kelompok merasa apa yang mereka dapatkan saat ini kurang dari yang seharusnya, maka hal tersebut akan akan memicu perilaku agresif berupa relative deprivation.
Kronologis pada film kemudian dilanjutkan di tahun 1959, ketika Belgia menyerahkan kontrol atas Rwanda kepada Hutu. Meskipun sebelumnya Belgia lebih berpihak kepada Tutsi, hal ini dapat terjadi karena adanya propinquity effect. Hutu yang merupakan suku dominan di Rwanda menjadi suku paling sering ditemui oleh masyarakat Belgia dan lama-kelamaan terjadi mere exposure effect dimana Belgia menjadi lebih suka kepada Hutu sehingga kekuasaan diberikan kepada Hutu.
Kemerdekaan Rwanda tersebut sekaligus mendatangkan masa-masa pelembagaan segregasi anti-Tutsi dan pembantaian kaum Tutsi. Diskriminasi terhadap kaum Tutsi sudah terbentuk pada masa ini. Stephan & Stephan (1985) menyebutkan ada empat hubungan yang kemungkinan terjadi antara prasangka dan diskriminasi. Salah satu diantaranya adalah ketika masyarakat (Hutu) dengan sikap negatif terhadap kelompok minoritas (Tutsi), dapat melakukan perilaku diskriminatif dengan sengaja. Perilaku diskriminatif yang disengaja tampak dengan pemaksaan para Tutsi dan kaum Hutu moderat untuk mengungsi. Akan tetapi para pengungsi tersebut di tahun 1988 membentuk gerakan pemberontakan bernama Rwandan Patriotic Front (RPF) untuk memperoleh tanah airnya kembali. Tahun 1990 RPF melakukan serangan terhadap rezim Hutu tetapi dihentikan oleh dukungan militer Perancis dan Belgia. Kejadian ini membuat batas in-group dan out-group antara Tutsi dan Hutu semakin jelas.
Siklus perang dan pembantaian terus berlanjut hingga tahun 1993, ketika PBB akhirnya menegosiasikan pembagian kekuasaan antara kedua belah pihak. Keterangan dalam film ini menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap out-group terkait dengan kelangkaan pekerjaan atau sumber daya lainnya. Suku Tutsi dan Hutu dinilai sama-sama menginginkan kekuasaan, sehingga PBB melakukan pembagian kekuasaan diantara keduanya. Akan tetapi, untuk melindungi kekuasaan yang telah dimiliki, kaum ekstremis Hutu menolak perjanjian tersebut dan merencanakan salah satu genosida paling mengerikan sepanjang sejarah. Apa yang dilakukan oleh para ekstremis Hutu sesuai dengan norma bias in-group/out-group Tajfel. Kelompok ekstremis Hutu ingin menjaga self-concept positif mereka dengan melakukan hal yang menguntungkan kelompok mereka. Pembantaian terhadap Tutsi akan membuat Hutu menjadi dominan dan berkuasa, sehingga self-concept mereka terhadap kelompoknya menjadi semakin positif.
Setelah diperlihatkan mengenai peta Afrika dan diceritakan sedikit mengenai makna dari gambar tersebut, awal cerita pada film ini dimulai. Pada saat itu, adegan pertama berlokasi di ruangan kelas dimana tokoh utama yang bernama Agustine sedang mengajar. Selesainya ia mengajar, ia baru tersadar bahwa hujan selalu turun di bulan April dimana cerita menjadi flashback ke tahun 1994.
Pada April 1994 sebelum genosida terjadi, terlihat interaksi Agustine dengan keluarganya begitu akrab. Ia terlihat sedang bercanda dengan anaknya di halaman dan mengajaknya masuk ke rumah apabila sudah sore. Ia juga menjalin hubungan yang baik dengan istrinya. Meskipun pada saat itu sudah terdengar kabar bahwa Hutu tidak boleh menikah dengan Tutsi, namun Agustine tetap tidak ingin melepaskan istrinya yang merupakan suku Tutsi. Mereka juga sangat sayang kepada anak-anaknya. Dari interaksi yang terjalin dengan anak-anaknya, terlihat bahwa Agustine menggunakan attachment style tipe secure attachment style. Hal ini terlihat dari interaksi positif diantara keluarga. Pembentukan interaksi ini juga diperlihatkan oleh Agustine yang selalu mendekatkan dirinya kepada anak-anaknya. Salah satu contohnya dengan membacakan cerita sebelum mereka tidur dan membebaskan anak-anaknya untuk berpendapat serta bertanya akan semua hal yang mereka ingin ketahui. Hasil dari attachment style ini terlihat dari anak-anak mereka yang tumbuh menjadi pribadi terbuka dan tidak malu untuk bertanya kepada orang tuanya. Ada satu adegan dimana anak-anaknya bertanya kepada orang tuanya kenapa mereka dipanggil kecoak.
Seiring berjalannya waktu, pada suatu malam terjadi penembakan Presiden Rwanda bernama Habyarimana yang dihubungkan dengan pemberontakan RPF. Pada penembakan ini, masyarakat Tutsi dipersalahkan atas kematian Habyarimana. Pemberitaan ini pun meluas dengan adanya bantuan media. Masyarakat yang mendengar peristiwa ini sebagian besar melakukan proses scapegoating (kambing hitam) dimana pelampiasan perasaan agresifnya ke kelompok yang minoritas atau yang tidak disukai terjadi karena kecenderungan individu ketika frustrasi atau sedih. Pada kasus ini, kaum yang tidak disukai oleh mayoritas adalah Tutsi sehingga Tutsi yang dipersalahkan atas insiden penembakan pesawat presiden.
Dalam pembentukan prasangka tersebut, media berperan penting. Hal ini didukung oleh Smith (2003) yang mengatakan bahwa media pembangkit kebencian (hate media) yang paling menonjol adalah saluran stasiun radio swasta, Radio Television Libre des Mille Collines (RTLM). Peran RTLM dalam membangun diskriminasi antar suku tergambar jelas dengan penggunaan kata kecoa (cockroach) untuk menggambarkan kaum Tutsi. Ada tokoh lainnya yang bernama Honoré Botera dalam film ini. Botera merupakan adik dari Agustine. Ia berprofesi sebagai penyiar radio setempat yang suka menggunakan kalimat-kalimat provokatif untuk memberikan label kepada Tutsi sekaligus mengingatkan bahwa Hutu di masa lampau sangat menderita akibat Tutsi. Perilaku Botera dapat menyebabkan terjadi failure of logic di dalam masyarakat karena mereka telah membangun prasangka terhadap Tutsi berdasarkan emosi. Ingatan akan Tutsi yang dulu pernah sempat berkuasa terus menerus disampaikan oleh penyiar yang telah memiliki prasangka negatif terhadap Tutsi. Akibatnya, apa yang disiarkan ke masyarakat merupakan hal-hal pendukung dari prasangka negatif tersebut. Siaran RTLM yang terus menerus juga menyebabkan terjadinya persistence of stereotype. Prasangka yang dipegang oleh suatu masyarakat cenderung stabil dan sulit untuk dihilangkan, ditambah lagi dengan stimulus terus menerus dari RTLM, stereotype akan semakin kuat dan bertahan.
Menurut Aronson, Akert & Wilson (2007), media juga membentuk illusory correlations dengan menyampaikan hal-hal stereotipikal tentang wanita dan kaum minoritas. Illusory correlations adalah kecenderungan untuk melihat kaitan atau hubungan antar kejadian yang sebenarnya tidak berhubungan. Kejadian penembakan pesawat Presiden Habyarimana dihubungkan dengan pemberontakan RPF. Media kemudian mengkaitkan masyarakat Tutsi sipil dengan RPF yang sebagian besar beranggotakan Tutsi dan Hutu moderat. Masyarakat Tutsi dipersalahkan atas kematian Habyarimana.
Pemberitaan mengenai Hutu dan Tutsi pada radio menyebabkan kelompok Hutu merasakan pengalaman dan emosi yang sama sehingga mereka bisa saling berkumpul menjadi satu kelompok dan mulai menyukai orang-orang baru di dalam kelompoknya karena merasa sama. Hal seperti ini dapat dikategorikan sebagai ketertarikan yang disebabkan karena faktor similarity, dimana seseorang akan menyukai orang lain karena ketertarikannya dibidang yang sama. Alasan Hutu berkumpul dengan Hutu juga dapat disebabkan similarity dalam hal experience. Sama-sama pernah merasakan berada di bawah pemerintahan Tutsi, membuat Hutu juga semakin kesal kepada Tutsi.
Penelitian yang dilakukan Greenberg and Pyszczynski (dalam Aronson, Akert & Wilson, 2007), menunjukkan bahwa stereotype dapat dengan mudah diaktivasi untuk memiliki efek negatif terhadap persepsi dan perlakuan terhadap anggota out-group. Oleh karena itu peran media dalam meningkatkan prasangka terhadap suatu kelompok juga menjadi signifikan. Faktor dari Group Cohesiveness juga berperan dimana dalam suatu kelompok masyarakat terbentuk adanya kualitas yang mengikat, mendukung dan menyukai antar anggota kelompok secara bersama-sama (Aronson, Akert & Wilson, 2010). Dalam film ini terlihat bagaimana Hutu bersama-sama membenci dan saling mendukung untuk menyingkirkan Tutsi.
Selain faktor di atas, terdapat pula faktor lainnya yang mendukung genosida di Rwanda. Faktor tersebut adalah social exchange yang ada dalam masyarakat. Social exchange ini terlihat dari Hutu yang merasa bahwa keberadaan suku Tutsi menjadi penghalang dan ancaman bagi mereka. Keberadaan Tutsi pun dinilai tidak memiliki hubungan timbal balik yang menguntungkan bagi Hutu, dan sudah sepantasnya disingkirkan karena tidak berguna. Kemarahan yang timbul karena serangan diikuti bahaya dan ancaman akan memicu perilaku agresif (Induction Phase). Adanya rasa ancaman di pihak Hutu membuat mereka mempersepsikan emosi itu sebagai negative arousal (appraisal phase). Jika negative arousal semakin tinggi, keagresifan mereka pun akan semakin tinggi (behavior phase) dan tidak memperdulikan tindakan yang dilakukannya benar atau salah (Stephan & Stephan, 1985).
Faktor selanjutnya adalah konformitas. Konformitas yang terjadi dikarenakan adanya pengaruh normatif sosial (normative social influenfe) di mana jika ingin diterima oleh suku Hutu mereka harus membantu dalam upaya pembantaian suku Tutsi yang dianggap sebagai penghalang terbentuknya pemerintahan satu suku. Inilah alasan medasar mengapa terjadi genocide di Rwanda pada tahun 1994.
Genosida dimulai dengan mem-blockade jalan-jalan disekitar Rwanda, dari utara ke selatan, dan barat ke timur. Seluruh rumah dijadikan sasaran penembakan dan pemeriksaan suku Hutu. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan daftar nama orang-orang yang sudah dibuat oleh para ekstremis suku Hutu. Orang-orang yang berada di daftar tersebut sebagian besar merupakan suku Tutsi, anggota suku Hutu yang telah menikah dengan suku Tutsi, dan anggota suku Hutu yang dianggap sebagai penghianat. Dikeluarkanya daftar nama tersebut membuat suku Hutu membentuk konformitas untuk merubah perilakunya mengikuti semua yang dikatakan oleh para ekstrimis Hutu. Mereka tidak berani membantu suku Tutsi karena takut tidak diterima oleh suku Hutu lainnya dan konformitas ini juga berguna agar mereka terjamin keselamatannya.
Pemeriksaan yang terjadi di rumah-rumah telah diketahui Agustine sebelumnya. Ia juga telah mengetahui bahwa rumahnya juga akan diperiksa. Mengetahui bahwa akan ada petugas Hutu yang datang, ia langsung berusaha untuk menyembunyikan istrinya dari pemeriksaan tersebut. Istrinya yang merupakan suku Tusti dititipkan ke tetangga berkewarganegaraan Belgia. Akan tetapi, warga Belgia tersebut awalnya tidak ingin menerima kehadiran mereka. Sampai pada akhirnya Agustine harus memohon kepada warga Belgia tersebut untuk menolong istri dan anak-anaknya tanpa dirinya. Beruntungnya warga Belgia tersebut akhirnya menolong keluarga Agustine. Bentuk pertolongan ini dapat dikategorikan sebagai emphaty altruism hypothesis dimana warga Belgia terdorong hatinya untuk menolong anak-anak dan wanita. Dalam melakukan pertolongan ini, warga Belgia tersebut tidak memikirkan imbalan apa yang akan didapatkannya.
Tindakan yang dilakukan selanjutnya oleh Agustine saat itu adalah menelpon Botera untuk membantunya mengamankan istrinya ke suatu hotel di tengah kota. Agustine tidak hanya meminta Botera untuk menolong istrinya. Ia juga memintanya untuk menolong Xavier yang merupakan teman dekatnya yang bersuku Tusti. Agustine melakukan ini karena ia merasa dekat dengan Xavier. Hal ini didukung oleh Stephan & Stephan (1985) yang mengatakan bahwa kedekatan dan kesamaan besarnya penderitaan yang dialami oleh orang yang ditolong merupakan faktor yang mendorong seseorang untuk menolong. Agustine memilih Botera untuk mengamankan istrinya karena Botera cukup disukai oleh masyarakat Hutu yang sedang melakukan pembantaian. Botera disenangi oleh masyarakat karena ia bekerja di radio setempat dan memiliki relasi yang banyak. Hal ini sesuai seperti yang dikatakan oleh Eagly (dalam Aronson, Akert & Wilson, 2010) bahwa seseorang akan lebih atraktif dan disukai apabila ia lebih bersikap sosial (mudah bergaul), ekstrovert, dan popular. Berscheid (dalam Aronson, Akert & Wilson, 2010) juga mengatakan mengenai ‘the power of familiarity’. Familiarity juga dapat meningkatkan tingkat ketertarikan seseorang. Pada film, sebelum Botera mencapai hotel, mereka harus melewati beberapa pemeriksaan. Agustine berasumsi dengan menggunakan muka Botera, seharusnya ia dapat lewat dari pemeriksaan dan mengamankan keluarganya. Akan tetapi ternyata Agustine salah. Anak-anaknya meninggal saat pemeriksaan menuju hotel terjadi. Perjuangan yang dilakukan Agsutine untuk menolong keluarganya agar terbebas dari serangan ekstrim Hutu merupakan perilaku altruism, dimana ia mau menolong keluarganya meskipun harus mengorbankan dirinya (Aronson, Akert & Wilson, 2010 ; Stephan & Stephan, 1985).
Agustine yang tidak mengetahui bahwa anak-anaknya telah meninggal, merencanakan untuk menyusul mereka ke hotel tempat perlindungan. Pada akhirnya ia dan Xavier berencana untuk pergi dari rumah dan menuju hotel menggunakan mobil. Saat hendak pergi dari rumah, Agustine bertemu dengan dua kelompok yang melakukan penyiksaan terhadap Tutsi. Dua kelompok tersebut yaitu ekstrim Hutu dan sekumpulan orang pemabuk. Keduanya berada di ujung jalan. Aronson, Akert & Wilson (2010) mengatakan bahwa salah satu penyebab orang melakukan agresif adalah penggunaan alkohol. Gagasan Aronson ini didukung oleh Stephan & Stephan (1985) bahwa penggunaan alkohol meningkatkan perilaku agresif seseorang. Akan tetapi ternyata perilaku yang terjadi ini merupakan salah satu bentuk dari misattribution of arousal.
Dalam perjalanan Agustine menuju hotel, ia bertemu sekelompok Hutu yang menyuruhnya untuk turun dari mobil dan menunjukan kartu tanda penduduknya. Xavier yang bersuku Tutsi disuruh berpisah dari kelompok Hutu untuk dibunuh. Agustine yang melihat peristiwa tersebut berusaha untuk membelanya kerabatnya dan ternyata Xavier tetap dibunuh oleh RPF. Agustine melakukan pembelaan karena ia merasa memiliki hubungan dekat dengan Xavier meskipun temannya itu bersuku Tutsi.
Selain rumah, sekolah juga menjadi sasaran pemeriksaan dan pembantaian. Sekolah wanita St. Marie yang terletak di Rwanda menjadi sasaran pemeriksaan. Satu sekolah langsung panik ketika didatangi oleh suku Hutu. Kepanikan ini membuat anak-anak yang ada di sekolahnya tidak memiliki waktu untuk berhenti dan berpikir tindakan apa yang seharusnya dilakukan pada saat itu. Perubahan perilaku yang terjadi saat itu dapat dikatakan karena berdasarkan informational social influence disekelilingnya. Terlihat bahwa anak-anak dengan tertib dan panik mengikuti apa yang diperintahkan oleh gurunya saat para ekstrimis datang ke sekolah mereka. Tanpa banyak bertanya mereka masuk ke dalam kamar asramanya masing-masing. Mereka melakukan hal tersebut karena yakin bahwa orang yang mempengaruhi mereka lebih mengetahui tindakan yang harusnya dilakukan (private acceptance). Akan tetapi, sebagaian besar murid ada juga yang melakukan public compliance karena mereka tidak mengetahui apakah hal yang mereka lakukan benar atau tidak. Buktinya adalah ketika di sebuah kamar asrama seluruh murid memutuskan untuk tidak mau memisahkan diri menjadi suku Hutu dan suku Tutsi. Pada awalnya guru mereka meminta mereka mengeluarkan tanda pengenal mereka dan memisahkan diri menjadi dua kelompok suku. Salah satu dari murid mengatakan bahwa ia akan menyerahkan dirinya, lalu murid lain ada yang mengatakan akan ikut serta jika ada yang menyerahkan diri dengan alasan mereka semua sudah seperti saudara. Lama kelamaan satu persatu dari mereka menyepakatai hal tersebut. Pada akhirnya mereka semua dibunuh oleh para ekstrimis secara masal dengan ditembaki di dalam kamar asrama tersebut.
Penembakan yang terjadi di sekolah ini dapat dikatakan sebagai efek negatif dari social roles. Meskipun di dalam social roles seseorang jadi mengetahui peran mereka sesungguhnya di suatu kelompok masyarakat, namun dapat pula menyebabkan perilaku menyimpang seperti penembakan tersebut. Mereka jadi tidak mengetahui apa sebenarnya peran mereka sesungguhnya. Dalam pembantaian ini, seharusnya mereka hanya membunuh suku Tutsi saja, namun terlihat bahwa banyak juga suku Hutu yang ikut terbunuh. Adanya stimulus ternyata juga menyebabkan agresif (Aronson, Akert & Wilson, 2010; Stephan & Stephan, 1985). Beragamnya jenis senjata, mulai dari pistol, pisau, dan benda perang lainnya semakin menstimulus suku Hutu untuk melakukan tindakan agresif.
Pembunuhan yang terjadi di sekolah ini disebabkan oleh rendahnya public self awareness dari pihak ekstrim Hutu kepada suku Tutsi. Rendahnya awareness ini terjadi karena kondisi yang membuat ekstrim Hutu merasa tidak memiliki tanggung jawab atas penderitaan yang dialami Tutsi. Padahal sebelum dibunuh, para korban sudah berusah agar ekstim Hutu memberikan belas kasih kepada mereka. Korban-korban yang merupakan siswi-siswi St. Marie melakukan hal ini karena mereka merasa bahwa tidak ada perbedaan di antara mereka. Bagi mereka, seluruh siswi-siswi St.Marie adalah sama, tidak ada Hutu ataupun Tutsi. Dalam peristiwa ini terlihat juga bahwa kedekatan dan kesamaan dapat menjadi motivasi seseorang untuk menolong.
Setelah peristiwa penembakan secara brutal di sekolah terjadi, guru dan beberapa murid yang masih hidup bisa tetap bangun dan menyelamatkan diri. Guru yang melihat murid-muridnya lemas menimbulkan rasa empati terhadap dua anak muridnya. Menurut Stephan & Stephan (1985), rasa empati yang dimiliki oleh salah satu guru dari sekolah St. Marie saat menolong kedua siswinya (Anna-Marie dan Victoria) terlihat ketika beliau tidak meninggalkan kedua muridnya, bahkan beliau berusaha untuk mencari pertolongan dan merawat Anna-Marie. Aronson, Akert & Wilson (2010) mengatakan ketika seseorang berempati, maka ia akan terdorong untuk menolong orang lain tanpa memikirkan imbalan yang didapatnya (emphaty altruism hypothesis). Hal ini pulalah yang dilakukan oleh sang guru ketika menolong muridnya.
Awareness lainnya juga dapat dilihat dari private self awareness para anggota RPF. Berbeda dengan public self awereness, private self awareness lebih bersifat ke dalam diri setiap individu. Jadi, perilaku yang dilakukannya disesuaikan dengan standarad yang dimiliki oleh setiap individu secara personal. Ketika ekstrim Hutu merasa bahwa agresif merupakan suatu hal yang benar, maka private self aggression mereka terhadap agresi akan meningkat (Stephan & Stephan, 1985). Pada film ini terlihat ketika kesakitan dan penderitaan yang dialami oleh kelompok yang dianggap musuh bagi ekstrim Hutu bukan lagi menjadi rasa empati melainkan suatu pencapaian yang berhasil mereka dapat karena sudah sesuai tujuan, yaitu memusnahkan Tutsi.
Selama proses genosida berlangsung, beberapa Negara memberikan komentarnya terhadap peristiwa ini. Salah satunya yaitu President Amerika, Clinton yang mengatakan bahwa orang-orang dibunuh karena mereka memiliki kartu identitas yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang Tutsi, atau karena memiliki orangtua Tutsi, atau karena orang menganggap penampilannya mirip Tutsi, atau karena melindungi orang Tutsi, atau karena orang tersebut tidak mengikuti kebijakan untuk memusnahkan kaum Tutsi. Cuplikan pidato tersebut sangat menggambarkan betapa kuat tindakan diskriminatif yang dapat dilakukan satu kelompok terhadap kelompok lain akibat prasangka.
Genosida secara besar-besaran yang terjadi di Rwanda dapat disimpulkan terjadi karena perilaku konformitas yang dilakukan oleh sebagian besar suku Tutsi. Perubahan perilaku mereka yang menjadi brutal tersebut berdasarkan atas pengaruh informasi sosial (informational social influence) yang ada saat itu. Genosida juga merupakan situasi krisis di mana orang tidak memiliki waktu untuk berhenti dan berpikir sejenak dalam melakukan sesuatu. Hal ini yang mendasari sebagian besar suku Tutsi merubah perilakunya sesuai dengan tindakan yang dilakukan orang lain. Sebagian dari mereka melakukannya karena yakin bahwa orang yang mempengaruhi mereka lebih mengetahui tindakan yang harus dilakukan (private acceptance).
Faktor penguat selain konformitas adalah deindividuation. Dalam tragedi di Rwanda, deindividuation sangat jelas terjadi. Menurut Aronson, Akert & Wilson (2010), deindividuation adalah suatu peristiwa dimana kendala normal sebuah perilaku semakin melonggar ketika seseorang tersebut sulit untuk diidentifikasi (dalam Aronson, Akert & Wilson, 2010). Dalam kasus Rwanda pembantaian masal terhadap suku Tutsi terjadi secara membabi buta tidak mengenal rasa prikemanusiaan, tidak memandang dengan siapa mereka berhadapan (saudara, tetangga, mapun kerabat terdekat). Dalam cerita tersebut suku Hutu khususnya cenderung membabi buta dalam melakukan pembataian. Hal tersebut dapat terjadi karena proses begitu cepat dan bersifat masal sehingga sulit sekali untuk mengidentifikasi pelaku pembantaian.
Selesainya peristiwa genosida yang terjadi di Rwanda, sekitar 800.000 juta jiwa orang melayang dalam 100 hari. Peristiwa ini membawa trauma dan stres tersendiri bagi mereka yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Hans Selye (dalam Aronson, Akert & Wilson, 2010) merupakan salah seorang pelopor penelitian tentang stres, mendefinisikan stres sebagai respon fisiologis tubuh terhadap kejadian yang mengancam. Menurutnya, setiap orang pasti pernah mengalami suatu peristiwa yang mungkin dapat menjadi trauma bagi mereka. Ketika trauma tersebut datang, ada dua pilihan yang dapat diambil. Pilihan pertama mengubur dalam-dalam seluruh peristiwa trauma dan tidak ingin membicarakannya dengan siapapun, dan pilihan kedua adalah memikirkan peristiwa tersebut, mendiskusikannya dengan orang lain, dan menganalisis peristiwa tersebut.
Pada film ini, Agustine terlihat mengalamai stress karena peristiwa traumatis yang terjadi pada April 1994. Awalnya ia menolak untuk bertemu dengan Botera dan menghindar untuk membahas mengenai peristiwa traumatis tersebut. Tapi pada akhirnya ia dapat membuka diri mengenai traumanya tersebut dan mau mendengar cerita dari saudaranya mengenai kejadian yang sebenarnya terjadi pada saat itu. Keterbukaan Agustine ini menuntunnya ke hidup yang lebih sehat. Keterbukaan ini sebenarnya juga berguna bagi mereka yang ingin menekan perasaan trauma mereka. Hal ini dikarenakan biasanya seseorang akan lebih mudah teringat akan suatu hal apabila mereka berpikiran untuk tidak memikirkan hal tersebut.
Keterbukaan Agustine pada saat mendengarkan cerita Botera tentang keluarganya menunjukan bahwa ia memiliki passionate love. Hal ini terlihat dari kesetiannya bersama istrinya. Meskipun ia sudah tidak bertemu dengan istrinya selama kurang lebih sepuluh tahun, ia tetap tidak menikah lagi dan tetap ingin mendengar kabar sebenarnya dari adiknya yang terakhir kali bertemu dengan istrinya. Ia juga menangis dan sedih ketika diceritakan mengenai istrinya.
Tokoh lainnya yang juga mengalami trauma adalah Martine (guru di sekolah St. Marie). Ia memiliki kejadian traumatis ketika terbangun dari pingsan dan menyadari bahwa ia berada satu ruangan dengan para muridnya yang telah ditembak sampai mati. Ia tidak berkeinginan untuk membahas kejadian itu lagi namun pada akhirnya ia memberanikan diri untuk kembali ke tempat kejadian tersebut. Tidak hanya itu, ia juga mampu bersaksi pada saat pelaku pembunuhan sedang diadili.
Daftar Pustaka
A Brief History 1400-1994. (1996). Diakses pada tanggal 12 Desember 2011 dari edition.cnn.com/EVENTS/1996/year.in.review/topten/hutu/history.html
Adekunle, J. (2007). Culture and Customs of Rwanda. Connecticut: Greenwood Publishing Group.
Aronson, E., Akert, R. M., & Wilson, D.T. (2007). Social Psychology 6th ed. NJ: Pearson Prentice Hall.
Aronson, E., Akert, R. M., & Wilson, D.T. (2010). Social Psychology 7th ed. NJ: Pearson Prentice Hall.
Rwanda: How The Genocide Happened. (2011, 17 Mei). Diakses pada tanggal 12 Desember 2011 dari bbc.co.uk/news/world-africa-13431486.
Smith, R. (2003, 3 Desember). The Impact of Hate Media in Rwanda. Diakses pada tanggal 12 Desember 2011 dari news.bbc.co.uk/2/hi/africa/3257748.stm
Stephan, C. W. & Stephan, W. G. (1985). Two Social Psychology An Integrative Approach. Illionis: The Dorsey Press.
Pada bagian awal, film ini menampilkan dan menceritakan mengenai peta Afrika pada beberapa abad yang lalu. Pada mulanya, selama berabad-abad yang lalu, terdapat suku Tutsi, Hutu, dan Twa dengan berbagi budaya, bahasa, dan agama yang sama di Rwanda. Relasi antar kelompok suku tersebut tampak terjalin dengan baik. Antar kelompok juga dapat dikatakan terjadi akulturasi budaya di masa lalu. Akulturasi ini terlihat dari Suku Tutsi yang mempelajari bahasa suku Hutu, dan suku Hutu yang mempelajari sistem politik suku Tutsi (Adekunle, 2007). Selain terjadi akulturasi, kedua suku ini juga hidup rukun dan bersatu dengan diperbolehkannya terjadi pernikahan antar suku (“A Brief”, 1996).
Tahun 1916, ketika Belgia mengambil kekuasaan atas Rwanda dari Jerman, berlakulah sistem kolonialisasi klasifikasi ras dan eksploitasi. Klasifikasi ras, atau yang disebut sebagai kategorisasi sosial, merupakan penyebab timbulnya prasangka diantara kedua suku. Prasangka merupakan hal yang berbahaya karena perasaan tidak suka terhadap suatu kelompok, walaupun sedikit, tidak dapat dihentikan dan dapat menjadi kebencian yang ekstrim (Aronson, Akert & Wilson, 2007).
Stephan & Stephan (1985) juga menambahkan bahwa perbedaan ras yang terjadi di Rwanda dapat menimbulkan perilaku agresif. Perilaku agresif yang biasanya muncul dikarenakan faktor ras (race) yang timbul karena adanya diskriminasi dari kelompok mayoritas kepada minoritas. Diskriminasi terjadi karena adanya rasa marah di salah satu kelompok yang apabila dilihat dari film ini, rasa marah tersebut pertama-tama muncul ketika Belgia memecah Rwanda menjadi beberapa suku. Dalam pemecahan tersebut, Tutsi mendapatkan hak istimewa di pemerintahan.
Klasifikasi ras yang dilakukan Belgia menimbulkan kebencian (resentment) Hutu, suku mayoritas, terhadap Tutsi, suku minoritas, terlebih karena Belgia memberikan status yang lebih tinggi kepada Tutsi. Belgia menganggap Tutsi lebih unggul daripada Hutu sehingga untuk 20 tahun berikutnya, Tutsi menikmati pekerjaan dan pendidikan yang lebih baik (“Rwanda: How”, 2011). Belgia telah melakukan apa yang disebut sebagai institutional racism. Pengaturan institusional seperti ini mempengaruhi hubungan antar kelompok di bidang ekonomi, sosial, dan politik.
Faktor-faktor ini kemudian membuat Hutu merasa terancam, iri hati, tersaingi oleh Tutsi. Keirihatian Hutu karena Tutsi mendapat hak atas pemerintahan Rwanda menyebabkan Hutu merasa tidak adil. Menurut Aronson, Akert & Wilson (2010) ketika individu atau kelompok merasa apa yang mereka dapatkan saat ini kurang dari yang seharusnya, maka hal tersebut akan akan memicu perilaku agresif berupa relative deprivation.
Kronologis pada film kemudian dilanjutkan di tahun 1959, ketika Belgia menyerahkan kontrol atas Rwanda kepada Hutu. Meskipun sebelumnya Belgia lebih berpihak kepada Tutsi, hal ini dapat terjadi karena adanya propinquity effect. Hutu yang merupakan suku dominan di Rwanda menjadi suku paling sering ditemui oleh masyarakat Belgia dan lama-kelamaan terjadi mere exposure effect dimana Belgia menjadi lebih suka kepada Hutu sehingga kekuasaan diberikan kepada Hutu.
Kemerdekaan Rwanda tersebut sekaligus mendatangkan masa-masa pelembagaan segregasi anti-Tutsi dan pembantaian kaum Tutsi. Diskriminasi terhadap kaum Tutsi sudah terbentuk pada masa ini. Stephan & Stephan (1985) menyebutkan ada empat hubungan yang kemungkinan terjadi antara prasangka dan diskriminasi. Salah satu diantaranya adalah ketika masyarakat (Hutu) dengan sikap negatif terhadap kelompok minoritas (Tutsi), dapat melakukan perilaku diskriminatif dengan sengaja. Perilaku diskriminatif yang disengaja tampak dengan pemaksaan para Tutsi dan kaum Hutu moderat untuk mengungsi. Akan tetapi para pengungsi tersebut di tahun 1988 membentuk gerakan pemberontakan bernama Rwandan Patriotic Front (RPF) untuk memperoleh tanah airnya kembali. Tahun 1990 RPF melakukan serangan terhadap rezim Hutu tetapi dihentikan oleh dukungan militer Perancis dan Belgia. Kejadian ini membuat batas in-group dan out-group antara Tutsi dan Hutu semakin jelas.
Siklus perang dan pembantaian terus berlanjut hingga tahun 1993, ketika PBB akhirnya menegosiasikan pembagian kekuasaan antara kedua belah pihak. Keterangan dalam film ini menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap out-group terkait dengan kelangkaan pekerjaan atau sumber daya lainnya. Suku Tutsi dan Hutu dinilai sama-sama menginginkan kekuasaan, sehingga PBB melakukan pembagian kekuasaan diantara keduanya. Akan tetapi, untuk melindungi kekuasaan yang telah dimiliki, kaum ekstremis Hutu menolak perjanjian tersebut dan merencanakan salah satu genosida paling mengerikan sepanjang sejarah. Apa yang dilakukan oleh para ekstremis Hutu sesuai dengan norma bias in-group/out-group Tajfel. Kelompok ekstremis Hutu ingin menjaga self-concept positif mereka dengan melakukan hal yang menguntungkan kelompok mereka. Pembantaian terhadap Tutsi akan membuat Hutu menjadi dominan dan berkuasa, sehingga self-concept mereka terhadap kelompoknya menjadi semakin positif.
Setelah diperlihatkan mengenai peta Afrika dan diceritakan sedikit mengenai makna dari gambar tersebut, awal cerita pada film ini dimulai. Pada saat itu, adegan pertama berlokasi di ruangan kelas dimana tokoh utama yang bernama Agustine sedang mengajar. Selesainya ia mengajar, ia baru tersadar bahwa hujan selalu turun di bulan April dimana cerita menjadi flashback ke tahun 1994.
Pada April 1994 sebelum genosida terjadi, terlihat interaksi Agustine dengan keluarganya begitu akrab. Ia terlihat sedang bercanda dengan anaknya di halaman dan mengajaknya masuk ke rumah apabila sudah sore. Ia juga menjalin hubungan yang baik dengan istrinya. Meskipun pada saat itu sudah terdengar kabar bahwa Hutu tidak boleh menikah dengan Tutsi, namun Agustine tetap tidak ingin melepaskan istrinya yang merupakan suku Tutsi. Mereka juga sangat sayang kepada anak-anaknya. Dari interaksi yang terjalin dengan anak-anaknya, terlihat bahwa Agustine menggunakan attachment style tipe secure attachment style. Hal ini terlihat dari interaksi positif diantara keluarga. Pembentukan interaksi ini juga diperlihatkan oleh Agustine yang selalu mendekatkan dirinya kepada anak-anaknya. Salah satu contohnya dengan membacakan cerita sebelum mereka tidur dan membebaskan anak-anaknya untuk berpendapat serta bertanya akan semua hal yang mereka ingin ketahui. Hasil dari attachment style ini terlihat dari anak-anak mereka yang tumbuh menjadi pribadi terbuka dan tidak malu untuk bertanya kepada orang tuanya. Ada satu adegan dimana anak-anaknya bertanya kepada orang tuanya kenapa mereka dipanggil kecoak.
Seiring berjalannya waktu, pada suatu malam terjadi penembakan Presiden Rwanda bernama Habyarimana yang dihubungkan dengan pemberontakan RPF. Pada penembakan ini, masyarakat Tutsi dipersalahkan atas kematian Habyarimana. Pemberitaan ini pun meluas dengan adanya bantuan media. Masyarakat yang mendengar peristiwa ini sebagian besar melakukan proses scapegoating (kambing hitam) dimana pelampiasan perasaan agresifnya ke kelompok yang minoritas atau yang tidak disukai terjadi karena kecenderungan individu ketika frustrasi atau sedih. Pada kasus ini, kaum yang tidak disukai oleh mayoritas adalah Tutsi sehingga Tutsi yang dipersalahkan atas insiden penembakan pesawat presiden.
Dalam pembentukan prasangka tersebut, media berperan penting. Hal ini didukung oleh Smith (2003) yang mengatakan bahwa media pembangkit kebencian (hate media) yang paling menonjol adalah saluran stasiun radio swasta, Radio Television Libre des Mille Collines (RTLM). Peran RTLM dalam membangun diskriminasi antar suku tergambar jelas dengan penggunaan kata kecoa (cockroach) untuk menggambarkan kaum Tutsi. Ada tokoh lainnya yang bernama Honoré Botera dalam film ini. Botera merupakan adik dari Agustine. Ia berprofesi sebagai penyiar radio setempat yang suka menggunakan kalimat-kalimat provokatif untuk memberikan label kepada Tutsi sekaligus mengingatkan bahwa Hutu di masa lampau sangat menderita akibat Tutsi. Perilaku Botera dapat menyebabkan terjadi failure of logic di dalam masyarakat karena mereka telah membangun prasangka terhadap Tutsi berdasarkan emosi. Ingatan akan Tutsi yang dulu pernah sempat berkuasa terus menerus disampaikan oleh penyiar yang telah memiliki prasangka negatif terhadap Tutsi. Akibatnya, apa yang disiarkan ke masyarakat merupakan hal-hal pendukung dari prasangka negatif tersebut. Siaran RTLM yang terus menerus juga menyebabkan terjadinya persistence of stereotype. Prasangka yang dipegang oleh suatu masyarakat cenderung stabil dan sulit untuk dihilangkan, ditambah lagi dengan stimulus terus menerus dari RTLM, stereotype akan semakin kuat dan bertahan.
Menurut Aronson, Akert & Wilson (2007), media juga membentuk illusory correlations dengan menyampaikan hal-hal stereotipikal tentang wanita dan kaum minoritas. Illusory correlations adalah kecenderungan untuk melihat kaitan atau hubungan antar kejadian yang sebenarnya tidak berhubungan. Kejadian penembakan pesawat Presiden Habyarimana dihubungkan dengan pemberontakan RPF. Media kemudian mengkaitkan masyarakat Tutsi sipil dengan RPF yang sebagian besar beranggotakan Tutsi dan Hutu moderat. Masyarakat Tutsi dipersalahkan atas kematian Habyarimana.
Pemberitaan mengenai Hutu dan Tutsi pada radio menyebabkan kelompok Hutu merasakan pengalaman dan emosi yang sama sehingga mereka bisa saling berkumpul menjadi satu kelompok dan mulai menyukai orang-orang baru di dalam kelompoknya karena merasa sama. Hal seperti ini dapat dikategorikan sebagai ketertarikan yang disebabkan karena faktor similarity, dimana seseorang akan menyukai orang lain karena ketertarikannya dibidang yang sama. Alasan Hutu berkumpul dengan Hutu juga dapat disebabkan similarity dalam hal experience. Sama-sama pernah merasakan berada di bawah pemerintahan Tutsi, membuat Hutu juga semakin kesal kepada Tutsi.
Penelitian yang dilakukan Greenberg and Pyszczynski (dalam Aronson, Akert & Wilson, 2007), menunjukkan bahwa stereotype dapat dengan mudah diaktivasi untuk memiliki efek negatif terhadap persepsi dan perlakuan terhadap anggota out-group. Oleh karena itu peran media dalam meningkatkan prasangka terhadap suatu kelompok juga menjadi signifikan. Faktor dari Group Cohesiveness juga berperan dimana dalam suatu kelompok masyarakat terbentuk adanya kualitas yang mengikat, mendukung dan menyukai antar anggota kelompok secara bersama-sama (Aronson, Akert & Wilson, 2010). Dalam film ini terlihat bagaimana Hutu bersama-sama membenci dan saling mendukung untuk menyingkirkan Tutsi.
Selain faktor di atas, terdapat pula faktor lainnya yang mendukung genosida di Rwanda. Faktor tersebut adalah social exchange yang ada dalam masyarakat. Social exchange ini terlihat dari Hutu yang merasa bahwa keberadaan suku Tutsi menjadi penghalang dan ancaman bagi mereka. Keberadaan Tutsi pun dinilai tidak memiliki hubungan timbal balik yang menguntungkan bagi Hutu, dan sudah sepantasnya disingkirkan karena tidak berguna. Kemarahan yang timbul karena serangan diikuti bahaya dan ancaman akan memicu perilaku agresif (Induction Phase). Adanya rasa ancaman di pihak Hutu membuat mereka mempersepsikan emosi itu sebagai negative arousal (appraisal phase). Jika negative arousal semakin tinggi, keagresifan mereka pun akan semakin tinggi (behavior phase) dan tidak memperdulikan tindakan yang dilakukannya benar atau salah (Stephan & Stephan, 1985).
Faktor selanjutnya adalah konformitas. Konformitas yang terjadi dikarenakan adanya pengaruh normatif sosial (normative social influenfe) di mana jika ingin diterima oleh suku Hutu mereka harus membantu dalam upaya pembantaian suku Tutsi yang dianggap sebagai penghalang terbentuknya pemerintahan satu suku. Inilah alasan medasar mengapa terjadi genocide di Rwanda pada tahun 1994.
Genosida dimulai dengan mem-blockade jalan-jalan disekitar Rwanda, dari utara ke selatan, dan barat ke timur. Seluruh rumah dijadikan sasaran penembakan dan pemeriksaan suku Hutu. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan daftar nama orang-orang yang sudah dibuat oleh para ekstremis suku Hutu. Orang-orang yang berada di daftar tersebut sebagian besar merupakan suku Tutsi, anggota suku Hutu yang telah menikah dengan suku Tutsi, dan anggota suku Hutu yang dianggap sebagai penghianat. Dikeluarkanya daftar nama tersebut membuat suku Hutu membentuk konformitas untuk merubah perilakunya mengikuti semua yang dikatakan oleh para ekstrimis Hutu. Mereka tidak berani membantu suku Tutsi karena takut tidak diterima oleh suku Hutu lainnya dan konformitas ini juga berguna agar mereka terjamin keselamatannya.
Pemeriksaan yang terjadi di rumah-rumah telah diketahui Agustine sebelumnya. Ia juga telah mengetahui bahwa rumahnya juga akan diperiksa. Mengetahui bahwa akan ada petugas Hutu yang datang, ia langsung berusaha untuk menyembunyikan istrinya dari pemeriksaan tersebut. Istrinya yang merupakan suku Tusti dititipkan ke tetangga berkewarganegaraan Belgia. Akan tetapi, warga Belgia tersebut awalnya tidak ingin menerima kehadiran mereka. Sampai pada akhirnya Agustine harus memohon kepada warga Belgia tersebut untuk menolong istri dan anak-anaknya tanpa dirinya. Beruntungnya warga Belgia tersebut akhirnya menolong keluarga Agustine. Bentuk pertolongan ini dapat dikategorikan sebagai emphaty altruism hypothesis dimana warga Belgia terdorong hatinya untuk menolong anak-anak dan wanita. Dalam melakukan pertolongan ini, warga Belgia tersebut tidak memikirkan imbalan apa yang akan didapatkannya.
Tindakan yang dilakukan selanjutnya oleh Agustine saat itu adalah menelpon Botera untuk membantunya mengamankan istrinya ke suatu hotel di tengah kota. Agustine tidak hanya meminta Botera untuk menolong istrinya. Ia juga memintanya untuk menolong Xavier yang merupakan teman dekatnya yang bersuku Tusti. Agustine melakukan ini karena ia merasa dekat dengan Xavier. Hal ini didukung oleh Stephan & Stephan (1985) yang mengatakan bahwa kedekatan dan kesamaan besarnya penderitaan yang dialami oleh orang yang ditolong merupakan faktor yang mendorong seseorang untuk menolong. Agustine memilih Botera untuk mengamankan istrinya karena Botera cukup disukai oleh masyarakat Hutu yang sedang melakukan pembantaian. Botera disenangi oleh masyarakat karena ia bekerja di radio setempat dan memiliki relasi yang banyak. Hal ini sesuai seperti yang dikatakan oleh Eagly (dalam Aronson, Akert & Wilson, 2010) bahwa seseorang akan lebih atraktif dan disukai apabila ia lebih bersikap sosial (mudah bergaul), ekstrovert, dan popular. Berscheid (dalam Aronson, Akert & Wilson, 2010) juga mengatakan mengenai ‘the power of familiarity’. Familiarity juga dapat meningkatkan tingkat ketertarikan seseorang. Pada film, sebelum Botera mencapai hotel, mereka harus melewati beberapa pemeriksaan. Agustine berasumsi dengan menggunakan muka Botera, seharusnya ia dapat lewat dari pemeriksaan dan mengamankan keluarganya. Akan tetapi ternyata Agustine salah. Anak-anaknya meninggal saat pemeriksaan menuju hotel terjadi. Perjuangan yang dilakukan Agsutine untuk menolong keluarganya agar terbebas dari serangan ekstrim Hutu merupakan perilaku altruism, dimana ia mau menolong keluarganya meskipun harus mengorbankan dirinya (Aronson, Akert & Wilson, 2010 ; Stephan & Stephan, 1985).
Agustine yang tidak mengetahui bahwa anak-anaknya telah meninggal, merencanakan untuk menyusul mereka ke hotel tempat perlindungan. Pada akhirnya ia dan Xavier berencana untuk pergi dari rumah dan menuju hotel menggunakan mobil. Saat hendak pergi dari rumah, Agustine bertemu dengan dua kelompok yang melakukan penyiksaan terhadap Tutsi. Dua kelompok tersebut yaitu ekstrim Hutu dan sekumpulan orang pemabuk. Keduanya berada di ujung jalan. Aronson, Akert & Wilson (2010) mengatakan bahwa salah satu penyebab orang melakukan agresif adalah penggunaan alkohol. Gagasan Aronson ini didukung oleh Stephan & Stephan (1985) bahwa penggunaan alkohol meningkatkan perilaku agresif seseorang. Akan tetapi ternyata perilaku yang terjadi ini merupakan salah satu bentuk dari misattribution of arousal.
Dalam perjalanan Agustine menuju hotel, ia bertemu sekelompok Hutu yang menyuruhnya untuk turun dari mobil dan menunjukan kartu tanda penduduknya. Xavier yang bersuku Tutsi disuruh berpisah dari kelompok Hutu untuk dibunuh. Agustine yang melihat peristiwa tersebut berusaha untuk membelanya kerabatnya dan ternyata Xavier tetap dibunuh oleh RPF. Agustine melakukan pembelaan karena ia merasa memiliki hubungan dekat dengan Xavier meskipun temannya itu bersuku Tutsi.
Selain rumah, sekolah juga menjadi sasaran pemeriksaan dan pembantaian. Sekolah wanita St. Marie yang terletak di Rwanda menjadi sasaran pemeriksaan. Satu sekolah langsung panik ketika didatangi oleh suku Hutu. Kepanikan ini membuat anak-anak yang ada di sekolahnya tidak memiliki waktu untuk berhenti dan berpikir tindakan apa yang seharusnya dilakukan pada saat itu. Perubahan perilaku yang terjadi saat itu dapat dikatakan karena berdasarkan informational social influence disekelilingnya. Terlihat bahwa anak-anak dengan tertib dan panik mengikuti apa yang diperintahkan oleh gurunya saat para ekstrimis datang ke sekolah mereka. Tanpa banyak bertanya mereka masuk ke dalam kamar asramanya masing-masing. Mereka melakukan hal tersebut karena yakin bahwa orang yang mempengaruhi mereka lebih mengetahui tindakan yang harusnya dilakukan (private acceptance). Akan tetapi, sebagaian besar murid ada juga yang melakukan public compliance karena mereka tidak mengetahui apakah hal yang mereka lakukan benar atau tidak. Buktinya adalah ketika di sebuah kamar asrama seluruh murid memutuskan untuk tidak mau memisahkan diri menjadi suku Hutu dan suku Tutsi. Pada awalnya guru mereka meminta mereka mengeluarkan tanda pengenal mereka dan memisahkan diri menjadi dua kelompok suku. Salah satu dari murid mengatakan bahwa ia akan menyerahkan dirinya, lalu murid lain ada yang mengatakan akan ikut serta jika ada yang menyerahkan diri dengan alasan mereka semua sudah seperti saudara. Lama kelamaan satu persatu dari mereka menyepakatai hal tersebut. Pada akhirnya mereka semua dibunuh oleh para ekstrimis secara masal dengan ditembaki di dalam kamar asrama tersebut.
Penembakan yang terjadi di sekolah ini dapat dikatakan sebagai efek negatif dari social roles. Meskipun di dalam social roles seseorang jadi mengetahui peran mereka sesungguhnya di suatu kelompok masyarakat, namun dapat pula menyebabkan perilaku menyimpang seperti penembakan tersebut. Mereka jadi tidak mengetahui apa sebenarnya peran mereka sesungguhnya. Dalam pembantaian ini, seharusnya mereka hanya membunuh suku Tutsi saja, namun terlihat bahwa banyak juga suku Hutu yang ikut terbunuh. Adanya stimulus ternyata juga menyebabkan agresif (Aronson, Akert & Wilson, 2010; Stephan & Stephan, 1985). Beragamnya jenis senjata, mulai dari pistol, pisau, dan benda perang lainnya semakin menstimulus suku Hutu untuk melakukan tindakan agresif.
Pembunuhan yang terjadi di sekolah ini disebabkan oleh rendahnya public self awareness dari pihak ekstrim Hutu kepada suku Tutsi. Rendahnya awareness ini terjadi karena kondisi yang membuat ekstrim Hutu merasa tidak memiliki tanggung jawab atas penderitaan yang dialami Tutsi. Padahal sebelum dibunuh, para korban sudah berusah agar ekstim Hutu memberikan belas kasih kepada mereka. Korban-korban yang merupakan siswi-siswi St. Marie melakukan hal ini karena mereka merasa bahwa tidak ada perbedaan di antara mereka. Bagi mereka, seluruh siswi-siswi St.Marie adalah sama, tidak ada Hutu ataupun Tutsi. Dalam peristiwa ini terlihat juga bahwa kedekatan dan kesamaan dapat menjadi motivasi seseorang untuk menolong.
Setelah peristiwa penembakan secara brutal di sekolah terjadi, guru dan beberapa murid yang masih hidup bisa tetap bangun dan menyelamatkan diri. Guru yang melihat murid-muridnya lemas menimbulkan rasa empati terhadap dua anak muridnya. Menurut Stephan & Stephan (1985), rasa empati yang dimiliki oleh salah satu guru dari sekolah St. Marie saat menolong kedua siswinya (Anna-Marie dan Victoria) terlihat ketika beliau tidak meninggalkan kedua muridnya, bahkan beliau berusaha untuk mencari pertolongan dan merawat Anna-Marie. Aronson, Akert & Wilson (2010) mengatakan ketika seseorang berempati, maka ia akan terdorong untuk menolong orang lain tanpa memikirkan imbalan yang didapatnya (emphaty altruism hypothesis). Hal ini pulalah yang dilakukan oleh sang guru ketika menolong muridnya.
Awareness lainnya juga dapat dilihat dari private self awareness para anggota RPF. Berbeda dengan public self awereness, private self awareness lebih bersifat ke dalam diri setiap individu. Jadi, perilaku yang dilakukannya disesuaikan dengan standarad yang dimiliki oleh setiap individu secara personal. Ketika ekstrim Hutu merasa bahwa agresif merupakan suatu hal yang benar, maka private self aggression mereka terhadap agresi akan meningkat (Stephan & Stephan, 1985). Pada film ini terlihat ketika kesakitan dan penderitaan yang dialami oleh kelompok yang dianggap musuh bagi ekstrim Hutu bukan lagi menjadi rasa empati melainkan suatu pencapaian yang berhasil mereka dapat karena sudah sesuai tujuan, yaitu memusnahkan Tutsi.
Selama proses genosida berlangsung, beberapa Negara memberikan komentarnya terhadap peristiwa ini. Salah satunya yaitu President Amerika, Clinton yang mengatakan bahwa orang-orang dibunuh karena mereka memiliki kartu identitas yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang Tutsi, atau karena memiliki orangtua Tutsi, atau karena orang menganggap penampilannya mirip Tutsi, atau karena melindungi orang Tutsi, atau karena orang tersebut tidak mengikuti kebijakan untuk memusnahkan kaum Tutsi. Cuplikan pidato tersebut sangat menggambarkan betapa kuat tindakan diskriminatif yang dapat dilakukan satu kelompok terhadap kelompok lain akibat prasangka.
Genosida secara besar-besaran yang terjadi di Rwanda dapat disimpulkan terjadi karena perilaku konformitas yang dilakukan oleh sebagian besar suku Tutsi. Perubahan perilaku mereka yang menjadi brutal tersebut berdasarkan atas pengaruh informasi sosial (informational social influence) yang ada saat itu. Genosida juga merupakan situasi krisis di mana orang tidak memiliki waktu untuk berhenti dan berpikir sejenak dalam melakukan sesuatu. Hal ini yang mendasari sebagian besar suku Tutsi merubah perilakunya sesuai dengan tindakan yang dilakukan orang lain. Sebagian dari mereka melakukannya karena yakin bahwa orang yang mempengaruhi mereka lebih mengetahui tindakan yang harus dilakukan (private acceptance).
Faktor penguat selain konformitas adalah deindividuation. Dalam tragedi di Rwanda, deindividuation sangat jelas terjadi. Menurut Aronson, Akert & Wilson (2010), deindividuation adalah suatu peristiwa dimana kendala normal sebuah perilaku semakin melonggar ketika seseorang tersebut sulit untuk diidentifikasi (dalam Aronson, Akert & Wilson, 2010). Dalam kasus Rwanda pembantaian masal terhadap suku Tutsi terjadi secara membabi buta tidak mengenal rasa prikemanusiaan, tidak memandang dengan siapa mereka berhadapan (saudara, tetangga, mapun kerabat terdekat). Dalam cerita tersebut suku Hutu khususnya cenderung membabi buta dalam melakukan pembataian. Hal tersebut dapat terjadi karena proses begitu cepat dan bersifat masal sehingga sulit sekali untuk mengidentifikasi pelaku pembantaian.
Selesainya peristiwa genosida yang terjadi di Rwanda, sekitar 800.000 juta jiwa orang melayang dalam 100 hari. Peristiwa ini membawa trauma dan stres tersendiri bagi mereka yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Hans Selye (dalam Aronson, Akert & Wilson, 2010) merupakan salah seorang pelopor penelitian tentang stres, mendefinisikan stres sebagai respon fisiologis tubuh terhadap kejadian yang mengancam. Menurutnya, setiap orang pasti pernah mengalami suatu peristiwa yang mungkin dapat menjadi trauma bagi mereka. Ketika trauma tersebut datang, ada dua pilihan yang dapat diambil. Pilihan pertama mengubur dalam-dalam seluruh peristiwa trauma dan tidak ingin membicarakannya dengan siapapun, dan pilihan kedua adalah memikirkan peristiwa tersebut, mendiskusikannya dengan orang lain, dan menganalisis peristiwa tersebut.
Pada film ini, Agustine terlihat mengalamai stress karena peristiwa traumatis yang terjadi pada April 1994. Awalnya ia menolak untuk bertemu dengan Botera dan menghindar untuk membahas mengenai peristiwa traumatis tersebut. Tapi pada akhirnya ia dapat membuka diri mengenai traumanya tersebut dan mau mendengar cerita dari saudaranya mengenai kejadian yang sebenarnya terjadi pada saat itu. Keterbukaan Agustine ini menuntunnya ke hidup yang lebih sehat. Keterbukaan ini sebenarnya juga berguna bagi mereka yang ingin menekan perasaan trauma mereka. Hal ini dikarenakan biasanya seseorang akan lebih mudah teringat akan suatu hal apabila mereka berpikiran untuk tidak memikirkan hal tersebut.
Keterbukaan Agustine pada saat mendengarkan cerita Botera tentang keluarganya menunjukan bahwa ia memiliki passionate love. Hal ini terlihat dari kesetiannya bersama istrinya. Meskipun ia sudah tidak bertemu dengan istrinya selama kurang lebih sepuluh tahun, ia tetap tidak menikah lagi dan tetap ingin mendengar kabar sebenarnya dari adiknya yang terakhir kali bertemu dengan istrinya. Ia juga menangis dan sedih ketika diceritakan mengenai istrinya.
Tokoh lainnya yang juga mengalami trauma adalah Martine (guru di sekolah St. Marie). Ia memiliki kejadian traumatis ketika terbangun dari pingsan dan menyadari bahwa ia berada satu ruangan dengan para muridnya yang telah ditembak sampai mati. Ia tidak berkeinginan untuk membahas kejadian itu lagi namun pada akhirnya ia memberanikan diri untuk kembali ke tempat kejadian tersebut. Tidak hanya itu, ia juga mampu bersaksi pada saat pelaku pembunuhan sedang diadili.
Daftar Pustaka
A Brief History 1400-1994. (1996). Diakses pada tanggal 12 Desember 2011 dari edition.cnn.com/EVENTS/1996/year.in.review/topten/hutu/history.html
Adekunle, J. (2007). Culture and Customs of Rwanda. Connecticut: Greenwood Publishing Group.
Aronson, E., Akert, R. M., & Wilson, D.T. (2007). Social Psychology 6th ed. NJ: Pearson Prentice Hall.
Aronson, E., Akert, R. M., & Wilson, D.T. (2010). Social Psychology 7th ed. NJ: Pearson Prentice Hall.
Rwanda: How The Genocide Happened. (2011, 17 Mei). Diakses pada tanggal 12 Desember 2011 dari bbc.co.uk/news/world-africa-13431486.
Smith, R. (2003, 3 Desember). The Impact of Hate Media in Rwanda. Diakses pada tanggal 12 Desember 2011 dari news.bbc.co.uk/2/hi/africa/3257748.stm
Stephan, C. W. & Stephan, W. G. (1985). Two Social Psychology An Integrative Approach. Illionis: The Dorsey Press.
Subscribe to:
Posts (Atom)